Thursday, July 21, 2016

Ingin Mengubah Keadaan Tapi Belum Berhasil? Pahami Kunci Ini

Memang begitulah, manusia berinteraksi dengan beragam hal. Setiap kita berhadapan individu-individu lain dengan berbagai karakternya. Setiap kita berada di lingkungan dengan segala macam tabiatnya. Jelas semua hal tersebut menjadi bagian dari lingkaran kesadaran setiap individu. Saat sediri sekalipun, pikiran dan perasaan manusia tidak bisa lepas dari segala macam di luar dirinya. Mulai dari yang paling dekat, yaitu memikirkan dan merasakan keadaan dirinya sendiri sampai lingkungan nan jauh berupa alam semesta yang luasnya tak terkira. Karena itulah, ada istilah lingkaran kepedulian. Segala macam hal yang seseorang peduli (hanya sebatas tahu dan membicarakan) tetapi tidak bisa berbuat banyak karena di luar kendalinya. Karakter orang lain yang (kebetulan) tidak menyenangkan, polah tingkah pejabat yang membuat gemas dengan kebijakannya yang tidak memihak, dan beragam berita di televisi yang membuat kita hanya bisa menghela nafas. Paling-paling meluapkan perasaan tidak nyaman di media sosial. Semua itu disebut lingkaran kepedulian. Semua ada dalam ruang pikiran dan perasaan kita tetapi tidak tersentuh oleh kuasa tindakan kita.


Istilah lingkaran kepedulian dikemukan oleh Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People. Seorang individu tidak akan menjadi Highly Effective People jika lebih banyak fokus pada lingkaran kepedulian. Waktunya akan banyak tersita tanpa ada pencapaian yang positif. Untuk menjadi Highly Effective People, seseorang disarankan untuk lebih fokus pada apa yang disebut Covey sebagai "Lingkaran Pengaruh", yaitu segala hal yang bisa dikendalikan atau dalam kuasa dirinya sendiri. Orang itu tidak hanya bisa memikirkan dan merasakan tetapi juga bisa melakukan tindakan nyata. Dengan seseorang memahami posisi dirinya atas suatu hal dengan peta lingkaran kepedulian dan lingkaran pengaruh akan menjadikan lebih efektif dalam menyikapi keadaan.
Istilah “lingkaran kepedulian” dan “lingkaran pengaruh” mengingatkan saya pada kaidah ketika dihadapkan dengan kemungkaran. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.”(HR. Muslim). Hadist tersebut mendorong setiap muslim untuk memiliki kepedulian untuk mengubah kemungkaran, yaitu dengan tangannya (jika dia mampu), dengan lisannya (jika tidak mampu dengan tangannya), dan dengan hatinya (jika tidak mampu baik dengan tangan maupun lisan). Cara yang terakhir ini dikategorikan selemah-lemahnya iman. Siapa yang ingin dirinya hanya dalam selemah-lemahnya iman? Mendapati hadist tersebut sudah selayaknya sebagai umat muslim mendorong diri agar memiliki tangan (kuasa) yang bisa mengubah kemungkaran karena itulah sarana yang lebih efektif untuk mengubah kemungkaran.
Semangat untuk mengubah sesuatu yang besar dan berdampak luas tidak seharusnya melupakan tahapan-tahapan tertata dengan rapi. Sebuah inspirasi menarik yang tentu sudah umum kita dengan tentang seseorang yang saat mudanya sangat ingin mengubah dunia tetapi ternyata dia tidak mampu. Dia kemudian menurunkan targetannya, yaitu ingin mengubah negaranya tetapi ternyata tidak mampu juga. Lalu dia menurunkan lagi targetannya, yaitu mengubah kotanya tetapi ternyata tidak mampu. Seiring berjalannya waktu dia terpikirkan untuk memulainya dari mengubah keluarganya terlebih dahulu tetapi itupun teryata tidak bisa dia lakukan. Tersadarlah dia bahwa semestinya dia memulai tahapan perubahan dimulai dari dirinya sendiri. Kalau Aa Gym, “Mulai dari yang kecil-kecil, mulai dari diri sendiri, mulai dari sekarang”.


Resep kesuksesan Umar bin Abdul Aziz dalam waktu pemerintahan yang singkat tetapi mampu membawa kemakmuran rakyat tidak lain adalah melakukan perubahan dari lingkaran pengaruhnya mulai dari yang kecil. Perubahan dari diri sendiri, keluarga, kerabat sampailah kemudian lingkungan pemerintahannya. Dalam istilah sekarang dikenal dengan istilah reformasi. Dengan demikian, reformasi birokasi saja tidaklah efektif ketika tidak dimulai dari individu-individu di dalamnya secara pribadi, keluarga, dan kerabatnya. Jika kita pelajari Shirah Nabawiyah akan kita temukan tahapan dakwah Rasulullah dimulai dari lingkungan terkecilnya dahulu; istri, kerabat, sahabat barulah kaumnya lalu wilayah yang lebih luas. Ada pula proses ‘kaderisasi’ sehingga ketika Rasulullah SAW wafat, dakwah Islam terus berlanjut hingga sampai kepada kita. Jadi, untuk melakukan perubahan selain diperlukan tahapan-tahapan juga diperlukan kaderisasi, yaitu orang-orang yang diwarisi ilmu dan semangat untuk meneruskan perubahan. Jika negeri ini belum mencapai cita-citanya, patut untuk direnungkan, apa yang sudah diwariskan kepada anak cucu? Sudahkah ada kaderisasi untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin terbaik di negeri ini? Siapa yang akan melakukan?
Bersambung …. 

*) Pariman Siregar (Sukan menulis dan membawakan pelatihan tentang pengembangan diri)

1 comment:

  1. catatan yang apik dan seperti biasa....inspiratif, P Man...teruslah menulis mewarnai peradaban....meluaskan zona pengaruh kebaikan....

    ReplyDelete