Memang begitulah, manusia berinteraksi dengan beragam hal. Setiap
kita berhadapan individu-individu lain dengan berbagai karakternya. Setiap kita
berada di lingkungan dengan segala macam tabiatnya. Jelas semua hal tersebut
menjadi bagian dari lingkaran kesadaran setiap individu. Saat sediri sekalipun,
pikiran dan perasaan manusia tidak bisa lepas dari segala macam di luar
dirinya. Mulai dari yang paling dekat, yaitu memikirkan dan merasakan keadaan
dirinya sendiri sampai lingkungan nan jauh berupa alam semesta yang luasnya tak
terkira. Karena itulah, ada istilah lingkaran kepedulian. Segala macam hal yang
seseorang peduli (hanya sebatas tahu dan membicarakan) tetapi tidak bisa
berbuat banyak karena di luar kendalinya. Karakter orang lain yang (kebetulan)
tidak menyenangkan, polah tingkah pejabat yang membuat gemas dengan
kebijakannya yang tidak memihak, dan beragam berita di televisi yang membuat
kita hanya bisa menghela nafas. Paling-paling meluapkan perasaan tidak nyaman
di media sosial. Semua itu disebut lingkaran kepedulian. Semua ada dalam ruang
pikiran dan perasaan kita tetapi tidak tersentuh oleh kuasa tindakan kita.
Istilah lingkaran kepedulian dikemukan oleh Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People.
Seorang individu tidak akan menjadi Highly
Effective People jika lebih banyak fokus pada lingkaran kepedulian.
Waktunya akan banyak tersita tanpa ada pencapaian yang positif. Untuk menjadi Highly Effective People, seseorang
disarankan untuk lebih fokus pada apa yang disebut Covey sebagai "Lingkaran Pengaruh", yaitu
segala hal yang bisa dikendalikan atau dalam kuasa dirinya sendiri. Orang itu
tidak hanya bisa memikirkan dan merasakan tetapi juga bisa melakukan tindakan
nyata. Dengan seseorang memahami posisi dirinya atas suatu hal dengan peta
lingkaran kepedulian dan lingkaran pengaruh akan menjadikan lebih efektif dalam
menyikapi keadaan.
Istilah “lingkaran kepedulian” dan “lingkaran pengaruh”
mengingatkan saya pada kaidah ketika dihadapkan dengan kemungkaran. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang
siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya
dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan
apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah
iman.’.”(HR. Muslim). Hadist tersebut mendorong setiap muslim untuk
memiliki kepedulian untuk mengubah kemungkaran, yaitu dengan tangannya (jika dia
mampu), dengan lisannya (jika tidak mampu dengan tangannya), dan dengan hatinya
(jika tidak mampu baik dengan tangan maupun lisan). Cara yang terakhir ini
dikategorikan selemah-lemahnya iman. Siapa yang ingin dirinya hanya dalam
selemah-lemahnya iman? Mendapati hadist tersebut sudah selayaknya sebagai umat
muslim mendorong diri agar memiliki tangan (kuasa) yang bisa mengubah
kemungkaran karena itulah sarana yang lebih efektif untuk mengubah kemungkaran.
Semangat untuk mengubah sesuatu
yang besar dan berdampak luas tidak seharusnya melupakan tahapan-tahapan
tertata dengan rapi. Sebuah inspirasi menarik yang tentu sudah umum kita dengan
tentang seseorang yang saat mudanya sangat ingin mengubah dunia tetapi ternyata
dia tidak mampu. Dia kemudian menurunkan targetannya, yaitu ingin mengubah
negaranya tetapi ternyata tidak mampu juga. Lalu dia menurunkan lagi
targetannya, yaitu mengubah kotanya tetapi ternyata tidak mampu. Seiring
berjalannya waktu dia terpikirkan untuk memulainya dari mengubah keluarganya
terlebih dahulu tetapi itupun teryata tidak bisa dia lakukan. Tersadarlah dia bahwa
semestinya dia memulai tahapan perubahan dimulai dari dirinya sendiri. Kalau Aa
Gym, “Mulai dari yang kecil-kecil, mulai
dari diri sendiri, mulai dari sekarang”.
Resep kesuksesan Umar bin Abdul
Aziz dalam waktu pemerintahan yang singkat tetapi mampu membawa kemakmuran
rakyat tidak lain adalah melakukan perubahan dari lingkaran pengaruhnya mulai
dari yang kecil. Perubahan dari diri sendiri, keluarga, kerabat sampailah
kemudian lingkungan pemerintahannya. Dalam istilah sekarang dikenal dengan
istilah reformasi. Dengan demikian, reformasi birokasi saja tidaklah efektif
ketika tidak dimulai dari individu-individu di dalamnya secara pribadi,
keluarga, dan kerabatnya. Jika kita pelajari Shirah Nabawiyah akan kita temukan
tahapan dakwah Rasulullah dimulai dari lingkungan terkecilnya dahulu; istri,
kerabat, sahabat barulah kaumnya lalu wilayah yang lebih luas. Ada pula proses
‘kaderisasi’ sehingga ketika Rasulullah SAW wafat, dakwah Islam terus berlanjut
hingga sampai kepada kita. Jadi, untuk melakukan perubahan selain diperlukan
tahapan-tahapan juga diperlukan kaderisasi, yaitu orang-orang yang diwarisi
ilmu dan semangat untuk meneruskan perubahan. Jika negeri ini belum mencapai
cita-citanya, patut untuk direnungkan, apa yang sudah diwariskan kepada anak
cucu? Sudahkah ada kaderisasi untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin terbaik di
negeri ini? Siapa yang akan melakukan?
Bersambung ….
*) Pariman Siregar (Sukan menulis dan membawakan pelatihan tentang pengembangan diri)
catatan yang apik dan seperti biasa....inspiratif, P Man...teruslah menulis mewarnai peradaban....meluaskan zona pengaruh kebaikan....
ReplyDelete