Saturday, December 14, 2013

#EbookSpesial: Hipnotis Cinta



“Buku ‘Hipnotis Cinta’ spesial saya tulis untuk seseorang yang Allah SWT masih rahasiakan. Dia yang kelak membersamai mengukir bahagia kehidupan ini dan nanti. Dia yang  suatu saat akan mengetahui bahwa buku ini adalah salah satu yang spesial untuknya”, (Pariman Siregar, Juni 2011)

“Alhamdulillah, saya sudah menemukan seseorang yang selama ini saya cari dan saya nanti. Dia yang menjadi pengabulan atas doa-doa saya. Dan saya sudah menyiapkan buku spesial untuknya yang akan saya luncurkan pada 25 Januari 2014”

“Cinta itu energi. Cinta itu penggerak. Cinta itu kemauan. Cinta itu memberi. Cinta itu semangat. Cinta itu perhatian. Cinta itu menumbuhkan. Cinta itu karya. Awalanya, barangkali cinta membutuhkan alasan untuk mencintai tetapi berikutnya cinta yang memberi alasan untuk semuanya. Alasan untuk tetap kuat, selalu bahagia, dan selalu berkarya”, (Pariman Siregar, Desember 2013)

Link Download Hipnotis Cinta

Friday, December 13, 2013

#SebuahRefleksi: Menjadi Manusia


Beberapa waktu lalu, tempat saya praktek (Yakkum, Yogyakarta) mengadakan Peringatan Hari Disabilitas Internasional. Kegiatannya berupa lomba mewarnai yang pesertanya adalah anak-anak yang mengalami disabilitas dan anak-anak dari sekolah sekitar yang diundang. 


Ada hal yang menarik yang menjadi perhatian saya saat anak-anak mulai mewarnai. Saat itu, para orangtua yang mengantar diminta untuk mengambil jarak (menjauh) dari anaknya. Namun demikian, saya melihat ada orangtua-orangtua yang dari kejauhan memberi instruksi akan warna-warna yang digunakan oleh anaknya untuk mewarnai. Anaknya sendiri bukannya tenang tetapi justru tampak cemas dibandingkan anak-anak lain yang mengambil pilihan warna sesuai keinginan mereka. 


Saya tidak yakin jika orangtua ikut mewarnai, hasilnya akan menjadi juara. Saya berpikir, mengapa anak-anak itu tidak dibiarkan saja mewarnai sesuai keinginan sendiri? Membiarkan mereka bertumbuh inisiatifnya, kepekaannya, dan keberanian dalam mengambil keputusan akan warna-warna yang dipilih. Bukankah dalam kehidupan ini, mereka dihadapkan akan pilihan-pilihan? Memberikan kepercayaan pada mereka untuk melakukan akan menjadi modal yang bagus untuk masa depan mereka. Bagaimana jika mereka tidak juara? Memberi penghargaan atas apapun yang dicapai, itulah hal yang bisa dilakukan. “Bagaimana kalau …..?”


Kecemasan, ketakutan, kekhawatiran adalah tema-tema yang seolah melatarbelakangi. Perasaan cemas, takut, khawatir akan kegagalan, ketidaksempurnaan, dan harapan-harapan lebih atas pencapaian. Banyak orang yang menghindari ketakutan, menghindari rasa sakit, tidak ingin susah demi lebih memilih aman. Pada kenyataannya, kehidupan ini berisi ketakutan-keberanian, siang-malam, dan semuanya berpasangan. Mengapa tidak membiarkan diri mengalami ketakutan, kecemasan, rasa sakit, rasa susah sebagai kesempatan belajar menjadi manusia seutuhnya? 


Orang yang tidak memiliki mobil mengira jika memiliki mobil, kebahagiaannya akan meningkat. Dia lupa bahwa setelah sekian lama menggunakan mobil, dia akan merasa bosan dan anggapan tentang mobil yang membahagiakan berkurang. Orang mengira jika tidak merasakan sakit itu seolah hal yang selalu diinginkan. Di sisi lain, ada orang yang sebagian tubuhnya tidak merasa sakit, bahkan tidak merasakan apapun walau dicubit keras. Sadarlah kita bahwa memberi kesempatan pada diri untuk menerima apa-apa yang ada dalam kehidupan ini merupakan hal yang menyenangkan. Membiarkan diri dengan percaya diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan? 


Ketakutan bukanlah musuh yang harus dihindari dan dibenci. Bukankah terkadang ketakutan itu mengajarkan kita akan keberanian setelah melampauinya? Bukan lagi dualitas yang kita lihat dalam kehidupan ini tetapi kontunuitas. Biarkan diri bertumbuh dan terus bertumbuh. Saat kita takut, saat itulah kita sadar bahwa kita hanyalah manusia biasa. Sebagai manusia biasa, ada sisi berani dalam diri kita yang selama ini kita abaikan. Mengapa tidak membiarkannya kesempatan bertumbuh?

Saturday, November 30, 2013

#SebuahRefleksi: Bermental Pengemis?


“Pengemis”, sebutan yang tidak asing lagi untuk para peminta-minta. Dulu, orang mengemis karena benar-benar kelewat miskin. Saya ingat saat saya masih kecil, ada pengemis yang meminta-minta dari rumah ke rumah. Tujuannya mengemis sekedar untuk makan, tidak lebih dari itu. Pengemis itu juga malu ketika ada orang yang menyebutnya “pengemis”. Seolah dia sebenarnya tidak menginginkan untuk menjadi pengemis andai bisa melakukan usaha yang lain. 


Dulu saat saya masih kecil memang sangat lain dengan sekarang. Saya menemukan banyak pengemis di zaman sekarang ini sudah menjadi “pekerjaan”. Cara yang dilakukan juga beragam. Pernah saya menemukan, anak-anak masuk di bus lalu menyebarkan amplop kosong dengan tulisan tangan. “Mohon bantuannya untuk membayar sekolah”. Bukannya pendidikan dasar itu gratis ya?


Ada juga yang menyanyi dulu sebelum minta, biasanya di perempatan jalan. Sasarannya para pengguna jalan yang berhenti saat lampu merah. Dulunya mungkin karena memang benar-benar kepepet melakukan hal tersebut tetapi sudah bergeser karena malas bekerja keras. Bagaimana tidak, suatu kali saya menemukan orangnya sedang asyik telpon. Saya yakin HPnya bukan HP yang harga 200an ribu tapi mungkin 700an ribu. Ketika ada salah seorang pengendara motor yang berselorok pada pengemis tersebut, dia hanya bilang kalau sedang telpon pacarnya. Keesokan harinya, biasanya pengemis itu menyanyi dengan diiringi tutup botol yang dirangkai dengan paku pada kayu tetapi saat itu sudah berganti dengan sound system kecil. 


Fenomena demikian semakin hangat dibicarakan ketika di Jakarta didapati seorang pengemis dengan uang 25 juta. Jumlah yang sangat fantastis. Ada banyak orang yang memiliki pengalaman yang membuat dahi berkerenyit. Seorang teman pernah bertanya tentang uang yang didapat. Jawab pengemis dengan enteng, “Lagi sepi hari ini, cuma dapat 200rb”. Dapat 200rb dianggap sepi? 


Kalau ditotal 200rb x 30 hari sudah 6 juta. Jumlahnya berlipat-lipat dari UMR dan gaji PNS yang baru awal diterima. Ada juga yang tahu persis kalau ada pengemis yang rumahnya mewah. Pengemis menjadi pekerjaannya. Ada pula yang sawahnya luas, pergi ke kota karena musim kering lalu mengemis. Saat sudah musim hujan, balik lagi menggarap sawah. Mendapati kenyataan tentang pengemis yang penghasilannya banyak, ada seorang yang mengatakan menyesal dan tidak akan lagi memberi uang receh karena gajinya ternyata lebih banyak yang diperoleh pengemis. Baru saja kemarin, saya menemukan ada peminta-minta dengan HP Black Berry. Dalam hati saya berkata, “Apa yang salah dengan negeri ini?” Nampaknya, fenomena tentang pengemis menggambarkan problem kronis secara mental.


Sebuah refleksi untuk diri sendiri, “Apakah mentalitas pengemis itu ada dalam diri kita juga?” Bentuknya bisa saja sangat lain karena norma yang kita pegang masih bisa mengendalikan dorongan mentalitas itu dalam bentuk perilaku yang lebih bisa diterima sebagai kewajaran. Mentalitas “mengemis” ditandai dengan “dependensi, meminta-minta, tidak mandiri”. Sampai seusia sekarang ini, masihkan menggantungkan pemenuhan kebutuhan pada pihak-pihak tertentu tanpa adanya kerja yang menghasilkan uang padahal jika berusaha lebih bisa menghasilkan sendiri? Berapa banyak jumlah yang diberikan atau disumbangkan selama ini? Dalam konteks lebih luas, dimana posisi kita, apakah menjadi beban atau memberi solusi?


Jika ada 1 “pengemis” saja, berarti Negara mengalokasikan pengeluaran untuk membiayani pengemis tersebut melalui dinas terkait. Jika 1 “pengemis” mendapat alokasi 1 juta tiap bulan dan ada 1 juta pengemis berarti ada 12 x 1 juta x 1 juta, totalnya ada 12.000.000.000.000,- Hitungannya sebagai “beban” anggaran karena dihitung sebagai konsumsi. 


Jumlah uang yang sangat besar dan sangat cukup untuk membeli modal tukang bakso keliling (misalnya). Jika modal tukang bakso keliling adalah 5 juta berarti ada (12.000.000.000.000,- : 5.000.000) 2,4 juta pedagang bakso. Berapa banyak orang yang diuntungkan, roda ekonominya digerakkan? Jika tukang bakso memiliki 2 anak yang masih sekolah, istrinya yang membantu bekerja, 1 pelayan yang membantu melayani, pembuat gerobak, penjual daging, pembuat mie dan pangsit dst. Roda ekonomi yang digerakkan lebih banyak dibandingkan jika anggaran tersebut dialokasikan pada “pengemis” 


Sampai di sini, jika boleh digarisbawahi bahwa segala yang menjadi beban anggaran itu layaknya posisi “pengemis”. Saya sendiri jadi tersadar saat dulu menerima beasiswa, berarti dulu itu alokasi anggaran untuk pengeluaran bukan pendapatan bagi pemberi beasiswa? Saya jadi ingat saat masih menggantungkan kiriman dari orangtua, berarti posisi dalam pos anggaran saya seperti pengemis? Segala fasilitas yang masih disubsidi dan dalam pos anggaran pengeluaran terhitung posisi sebagaimana pengemis? 


Saya jadi termenung dengan berbagai fenomena yang anda. Apakah selama berdoa juga lebih banyak memposisikan diri sebagai “pengemis”, minta melulu? Jika mendapat keadaan sedikit sulit, belum-belum sudah mengeluh. Sudahkah bersyukur hari ini? Sepertinya lebih banyak saya meminta daripada bersyukur atau berterima kasih. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang pandai bersyukur atas berlimpahnya nikmat Allah SWT. (#RefleksiDiri)

Thursday, October 24, 2013

Motivasi: Dari Cicak, Kita Belajar


Hanya Allah SWT yang memiliki kesempurnaan. Manusia itu tempatnya salah dan khilaf. Terkadang manusia terlalu terburu menyimpulkan hanya dengan inderanya yang terbatas dan pengamatan yang sekilas. Terkadang manusia terlalu tergesa hanya dengan pengalamannya yang belum tentu berkualitas. Hikmah itu bersembunyi di balik apa yang terlihat, terdengar, terindera, dan apa yang manusia alami. Karena itulah, Allah SWT memerintahkan manusia untuk bertafakur, merenungkan, berefleksi guna memahami segala sesuatu dan mengambil pelajaran. 

Manusia diperintahkan mengambil pelajaran dari segala yang ada. Pelajaran mulai dari yang tampak menonjol atau besar yaitu langit dan bumi. Pelajaran dari sejarah ummat terdahulu. Pelajaran dari diri sendiri. Bahkan pelajaran dari sesuatu yang manusia anggap sepele dan seolah tidak berguna. Pelajaran dari hujan, tanaman, binatang melata, dan hal apapun. Ada kebesaran Allah SWT dalam butiran debu sekalipun. 

Mungkin suatu kali pernah merasa paling menderita sedunia? Mungkin ada yang berandai-andai lahir dari orang yang serba berkecupan? Mungkin ada yang ingin sekali menyalahkan Tuhan? Ada pula yang mungkin menganggap Tuhan tidak adil? Mungkin pula ada yang benci dengan Tuhan karena Dia yang dianggap menyebabkan segala yang terjadi dalam hidupnya?

Sekilah kalau urusan protes, merasa paling menderita, tidak mendapat keadilan dst, bisa jadi cicak yang paling berkah dan merasakan. Bisa dibayangkan bagaimana cicak kecil yang baru saja menetas dan menatap dunia. Belum lama menghirup udara, dia sudah menyaksikan kenyataan bahwa ayah, ibu, kakek, dan neneknya hidup penuh perjuangan hanya untuk makan. Lihat saja, cicak berjalan merayap sedangkan makannya binatang yang terbang. Kenyataan dua dunia yang berbeda. 

Cicak kecil boleh saja menganggap bahwa Tuhan tidak adil. Statusnya binatang merayap sedangkan makanannya binatang bersayap dan bisa terbang. Tidak adil secara sekilas. Akan lebih adil jika cicak juga memiliki sayap. Sama-sama memiliki sayap sehinggap cicak bisa mengejar dan mencukupi makanannya. Tapi coba renungkan, apa yang akan terjadi ketika cicak bersayap. Alangkah repotnya manusia, setiap hari menemukan pertengkaran dan pertempuran udara antara cicak dan nyamuk. Untungnya cicak tidak jadi protes.

Di sisi lain, sampai sekarang, cicak masih bertahan hidup. Badannya tidak sebesar dinosaurus. Cicak juga tidak seperti brontosaurus yang gesit terbang. Tapi hidup bukan perkara yang besar atau yang kecil. Nyatanya, dinosaurus punah juga. Tuhan mencukupi kebutuhan cicak. Allah SWT tidak pernah meninggalkan makhluknya. Alah SWT mengurus kebutuhan makhluknya. 

Pahamlah bahwa apa yang terlihat belum tentu begitu adanya. Gunung dari jauh begitu indah tetapi setelah didekati lebih hanya kumpulan pohon-pohon. Bulan begitu indah dipandang tetapi jika didekati lebih hanya kumpulan batu dan debu dengan lembah dan gunung yang kering. Persangkaan terbaik pada Allah SWT, menemukan hikmah dibalik apa yang ada dan apa yang dialami. Semoga Allah SWT menjadikan kita orang-orang yang pandai bersyukur. Aamiin.

Wednesday, October 23, 2013

Pariman Siregar: Motivator


<![endif]-->


Dalam banyak kesempatan, seseorang lebih menganggap orang lain lebih bahagai dari dirinya. Sebagai kesempatan berharapdan berandai-andai dirinya menjadi orang lain. Padahal, jika benar-benar mencermati, hidup yang paling menyenangkan adalah menjalani hidupnya sendiri.

Seorang kakak merasa bahwa dirinya dibebani tanggung jawab yang lebih dari kedua orangtuanya. Dia diharuskan menjadi orang yang berhasil oleh orangtuanyaakarena nantinya diharapkan menjadi contoh bagi adik-adiknya. Berbagai fasilitas diberikan termasuk juga kasih sayang.

Seorang adik memang bukan nomer satu. Orangtua berpesan agar dia menjadi anak yang baik sebagaimana kakaknya. Berbagai usaha sudah dilakukan tetapi tidak juga dipandang orangtua sebagai keberhasilan. Selalu saja kakaknya menjadi tolok ukur. Sering adanya dibanding-bandingkan. Bertindak ini dan itu seolah tidak dipandang benar oleh orangtua, serba salah adanya.

Serba ribet menjadi kakak, tidak bebas dalam menentukan keputusan. Setiap pilihan-pilihan mesti dipertimbangkan karena akand ijadikan landasan bagi adik-adiknya. Sederet tanggung jawab sudah menanti ketika sudah menjadi orang yang berhasil. Tanggung jawab terhadap orangtua,adik-adiknya, dan kebanggaan yang selama ini dielu-elukan oleh orangtuanya. Hidupnya seolah tidak memiliki banyak pilihan kebebasan.

Jadi adik itu serba menunggu, menanti, kakak yang lahir duluan, semuanya jadi seolah serba duluan. Orangtua seolah tidak mencintainya sebagaimana kakaknya. Lihat saja, foto yang terpasang di ruangtamu jauh lebih banyak kakaknya dibandingkan dirinya. Sebuah kenyataan. Fakta yang tidak bisa lagi dielakkan.

Itulah sekilas pengalaman ketika bertemu klien-klien ketika praktek kerja profesi psikologi. Pembelajaran kehidupan yang layak diambil siapapun sehingga bisa makin bijaksana dalam kehidupan. Kepemahamanakan psikologis anak-anak pertama, kedua, dst lalu menjadikannya sebagai pengetahuan untuk pengasuhan terbaik bagi anak. Bagaimana sebaiknya? Anda yang lebih tahu.

@inspirasisegar
Motivator dan Penulis Buku

Wednesday, August 28, 2013

Untukmu Separuh Agamaku


Menikah; Menua dan Mensurga

“Aku ingin menggenapkan separuh agamaku”, begitu kata mereka yang akan menikah. Memang dalam Islam, menikah dikatakan sebagai penyempurna setengah agama seseorang. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya”.

Lama saya mencari jawaban maksud dari sabda Rasulullah SAW bahwa menikah sebagai penyempurna setengah agama seseorang. Selain menikah sebagai sunnah Rasulullah SAW dan menjalankan sunnah beliau adalah bagian dari ibadah. Siapa yang tidak melakukan sunnah beliau berarti melakukan amal ibadah yang tidak beliau contohkan. Karena itu, siapa yang melakukan amal ibadah tanpa ada tuntunan dari beliau berarti tertolak, bukan umat beliau. “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”, demikian Rasulullah SAW bersabda.

Menikah lebih dari hanya kewajaran manusiawi untuk meneruskan keturunan. Menikah lebih dari sekedar kebutuhan manusia akan hubungan biologis dan ketenangan psikologis. Menikah lebih dari sekedar kebiasaan manusia yang memiliki budaya dengan segala pernak perniknya. Menikah adalah ibadah. Bagian dari penghambaan manusia pada Rabbnya. Sebagaimana tujuan penciptaan dalam QS Adz Dzaariyaat ayat 51, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Landasan yang harus diutamakan dalam pemilihan pasangan juga berlandaskan agama yang dimilikinya. Ukuran terbaik pasangan bukan pada jumlah harta yang dimiliki, nasabnya juga rupawan fisiknya tetapi baik agamanya.

Ikatan perjanjian dalam pernikahan, Allah SWT sebutkan dengan istilah “Mitsaqan ghalizhan”. Istilah yang tidak pernah dipakai dalam Al Qur’an kecuali untuk tiga peristiwa. Satu untuk perjanjian akad nikah dan dua untuk perjanjian tauhid. “…..Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”, QS An Nisaa’ ayat 21.

Menikah itu janji seumur hidup bahkan ikatannya sampai nanti di akhirat. Masing-masing orang di akhirat akan dipanggil namanya berserta nama bapaknya. Jika ibadah-ibadah yang lain, niat lalu dilaksanakan, tunai ibadah yang dilakukan. Sholat, paling hanya butuh waktu 15 menit sekali waktunya. Puasa, hanya butuh waktu seharian melakukannya. Haji, memang butuh waktu sekitar sebulan seluruh pelaksanaanya. Untuk pernikahan? Seumur hidup seseorang melakukan tanggung jawabnya.

Tiada istilah jeda, cuti menjadi suami atau cuti menjadi istri. Kala sendiri berjauhan tempat, kala sehat bisa bekerja, saat sakit kepayahan perlu bantuan, saat berlimpah harta kekayaan juga saat pemasukan sedikit. Setelah membuat ‘perjanjian’, niat ibadah dimulai, dan pelaksanaan ibadahnya seumur hidup.

Hidup ini terlalu panjang untuk aku lalui sendiri. Aku ingin, engkaulah yang menemani. Saat aku bekerja di dunia, engkaulah yang menerobos langit melalui doa-doa, membuka jalan dan menghadirkan kemudahan. Kala sholat, aku yang menjadi imam, engkau dan anak-anak yang menjadi makmumnya. Saat tengah malam kita bangun guna bersujud padaNya, aku berdoa dan engkaulah yang mengamininya. Aku yang membaca Al Qur’an, engkau yang menyemaknya, begitu pun sebaliknya. Dalam lingkaran, kita dan anak-anak bergiliran membaca Al Qur’an dan memeriksa hafalan, bertukar pengalaman, dan saling memberikan nasehat kebaikan.


Copy right @inspirasisegar