Thursday, January 31, 2008

Caraku Memilih Cinta, Caraku Mencintaimu

by Pariman, Psikologi Undip

Artikel ini aku tulis sebagai wujud perhatianku terhadap seorang sahabat yang bercurhat padaku. Sahabat itu merasakan perasaan yang berbeda seiring semester kuliah yang semakin atas kepada seseorang di kampusnya. Apakah yang sahabat tadi rasakan benar-benar cinta? Sudah berapa jauh kesiapan cinta menuju ikatan yang lebih serius (pernikahan)? Benarkan si dia pilihan yang tepat?
Ketertarikan terhadap lawan jenis itu wajarkan. Apalagi kalau kesan pertama begitu menyenangkan. Pasti nantinya akan menjadi “kenangan” yang senantiasa dirindukan. Pengan deh ngulangi lagi suatu perjumpaan.Kapan ya?
Mulai deh yang namanya deg-degan bila bertemu, dimanapun, kapanpun dia senantiasa menyisip dalam benak pikiran (halusinasi kali, ya ?) Cara ”kreatif” pun mulai dijalankan, SMS sekedar bertanya tentang kabar atau janjian ingin ketemu.
Setiap manusia tentunya butuh kasih sayang, cinta dan perhatian, dikasihi, dan disayangi. Manusia butuh orang lain untuk dicintai dan disayangi. Wajar, kalau hakekat cinta adalah keinginan untuk senantiasa dekat dan bersatu dengan obyek cintanya. Keinginan merupakan dimensi psikologis seseorang.
Dalam cinta itu butuh rasa dan interaksi. Olehkarena itu, cinta merupakan kesatuan subyek dan obyek cinta. Cinta pun mempunyai logika sendiri. Logika cinta bukanlah 1+1=2 namun 1+1=1. Secara fisik, dalam rumah tangga keluarga (cinta) memang ada suami dan istri, ada dua cinta yang bertemu kemudian melebur menjadi satu dalam bahtera rumah tangga cinta. Masing-masing mengurangi setengah egonya.
Cinta pun mempunyai intuisi sendiri seakan dia mampu mengetahui obyek terbaiknya. Firasat dan kepekaan tanpa sebuah latihan. Ngerti sak durunge winarah. Bisa menebak terjadinya sesuatu sebelum yang sebenarnya terjadi. Punya alasan yang tidak mudah untuk diungkapkan, rasa itu datang begitu saja. Namun, perlu diingat kalau alasan dan ketepatan alasan mencintai menentukan kelangsungan perjalanan cinta.
Kedewasaan itu memang membawa serta peran yang akan dijalankan. Tua itu pasti namun dewasa adalah sebuah pilihan. Dewasa, berkeluarga, menjadi suami bagi yang laki-laki dan menjadi istri bagi wanita. Ada peran-peran yang harus dijalankan di masyarakat. Seorang wanita nantinya akan dipanggil bukan dengan nama dia yang sekarang tetapi nama suaminya. Kesejatian cinta dipersatukan oleh pernikahan dan kekeluargaan. Ada yang begitu unik dalam perkawinan. Perkawinan bukan hanya persatuan dua insan yang saling mencinta namun persatuan dua keluarga, keluarga besar bahkan dua masyarakat (desa atau kota).
Jauhnya jarak fisik dengan orangtua ternyata secara tidak disadari membawa seseorang menemukan pengganti kasih sayang ketika di rumah. Awalnya sekedar teman kemudian menemukan kecocokan dan menjadi pasangan mengarungi kehidupan.
My friend. Kaum wanita itu unik. Cara berpikir mereka dalam menentukan kelayakan seorang pasangan.”Siapa diantara lelaki yang kutemui ini yang layak menjadi suamiku.” Mereka menguji dengan pertanyaan, ”Siapa yang kira-kira bisa memberikan yang terbaik untuk hidupku dan anak-anakku nantinya?” Mereka membutuhkan seseorang dengan profil yang ideal, pasti masa depannya, pun mereka (kaum wanita) membutuhkan jaminan dalam bentuk ikatan. Resmi tentunya. Bukan sekedar teman tapi mesra (TTM) namun pernikahan. Jaminan untuk diri dan anaknya kemudian.
Kaum pria pun unik. Mereka senantiasa memasang radarnya, mengerahkan semua indera untuk mendeteksi, ”Siapa wanita yang setia menemaniku mengarungi kehidupan dalam kesenangan maupun kesengsaraan?” Mereka menyadari kalau tanggung jawab sebagai seorang suami itu besar. Tanggung jawab kepemimpinan ada dipundaknya olehkarena itu yang mereka butuhkan adalah teman sejati dalam hidup ini dan nanti (di surga).
Sebagai sahabat Saya ingin menyampaikan pesan yang penting untuk sahabat. Masing-masing orang memang mempunyai cara yang berbeda dalam menentukan pilihan pasangannya. Biasanya tergantung orientasi hidup setiap orang. Mereka yang berorientasi keridho’an Allah swt menetapkan orientasi dan tujuan hidupnya untuk Islam (beribadah dan berdakwah untuk mendapat ridhonya). Semua tadi mengandung konsekuensi terhadap pasangan yang dipilih untuk mengarungi samudera kehidupan. Kesamaan orientasi membawaserta dua insan itu dalam satu rasa. Satu rasa dalam perjalanan seraya tiada mungkin ada perpisahan di perjalanan. Cara mereka menentukan pilihan pun unik. Tidak ada pacaran dalam kamus mereka. Paling hanya ta’aruf sebatas mengenal untuk kemantapan. Tanpa saling bersentuhan fisik, masing-masing memahami itu. Tanpa berdua-duaan dan mengumbar pandangan karena mereka memahami ada Allah swt yang senantiasa mengawasi. Cinta mereka disatukan melalui pernikahan. Barulah mereka bebas berpacaran dan mengenal lebih dalam. Cinta mereka adalah cinta yang rabbani. ”Memilah dengan logika, merasai dengan cinta, dan memutuskan dengan do’a.”