Wednesday, August 28, 2013

Untukmu Separuh Agamaku


Menikah; Menua dan Mensurga

“Aku ingin menggenapkan separuh agamaku”, begitu kata mereka yang akan menikah. Memang dalam Islam, menikah dikatakan sebagai penyempurna setengah agama seseorang. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertaqwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya”.

Lama saya mencari jawaban maksud dari sabda Rasulullah SAW bahwa menikah sebagai penyempurna setengah agama seseorang. Selain menikah sebagai sunnah Rasulullah SAW dan menjalankan sunnah beliau adalah bagian dari ibadah. Siapa yang tidak melakukan sunnah beliau berarti melakukan amal ibadah yang tidak beliau contohkan. Karena itu, siapa yang melakukan amal ibadah tanpa ada tuntunan dari beliau berarti tertolak, bukan umat beliau. “Menikah adalah sunnahku, barangsiapa yang enggan melaksanakan sunnahku, maka ia bukan dari golonganku”, demikian Rasulullah SAW bersabda.

Menikah lebih dari hanya kewajaran manusiawi untuk meneruskan keturunan. Menikah lebih dari sekedar kebutuhan manusia akan hubungan biologis dan ketenangan psikologis. Menikah lebih dari sekedar kebiasaan manusia yang memiliki budaya dengan segala pernak perniknya. Menikah adalah ibadah. Bagian dari penghambaan manusia pada Rabbnya. Sebagaimana tujuan penciptaan dalam QS Adz Dzaariyaat ayat 51, “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Landasan yang harus diutamakan dalam pemilihan pasangan juga berlandaskan agama yang dimilikinya. Ukuran terbaik pasangan bukan pada jumlah harta yang dimiliki, nasabnya juga rupawan fisiknya tetapi baik agamanya.

Ikatan perjanjian dalam pernikahan, Allah SWT sebutkan dengan istilah “Mitsaqan ghalizhan”. Istilah yang tidak pernah dipakai dalam Al Qur’an kecuali untuk tiga peristiwa. Satu untuk perjanjian akad nikah dan dua untuk perjanjian tauhid. “…..Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat”, QS An Nisaa’ ayat 21.

Menikah itu janji seumur hidup bahkan ikatannya sampai nanti di akhirat. Masing-masing orang di akhirat akan dipanggil namanya berserta nama bapaknya. Jika ibadah-ibadah yang lain, niat lalu dilaksanakan, tunai ibadah yang dilakukan. Sholat, paling hanya butuh waktu 15 menit sekali waktunya. Puasa, hanya butuh waktu seharian melakukannya. Haji, memang butuh waktu sekitar sebulan seluruh pelaksanaanya. Untuk pernikahan? Seumur hidup seseorang melakukan tanggung jawabnya.

Tiada istilah jeda, cuti menjadi suami atau cuti menjadi istri. Kala sendiri berjauhan tempat, kala sehat bisa bekerja, saat sakit kepayahan perlu bantuan, saat berlimpah harta kekayaan juga saat pemasukan sedikit. Setelah membuat ‘perjanjian’, niat ibadah dimulai, dan pelaksanaan ibadahnya seumur hidup.

Hidup ini terlalu panjang untuk aku lalui sendiri. Aku ingin, engkaulah yang menemani. Saat aku bekerja di dunia, engkaulah yang menerobos langit melalui doa-doa, membuka jalan dan menghadirkan kemudahan. Kala sholat, aku yang menjadi imam, engkau dan anak-anak yang menjadi makmumnya. Saat tengah malam kita bangun guna bersujud padaNya, aku berdoa dan engkaulah yang mengamininya. Aku yang membaca Al Qur’an, engkau yang menyemaknya, begitu pun sebaliknya. Dalam lingkaran, kita dan anak-anak bergiliran membaca Al Qur’an dan memeriksa hafalan, bertukar pengalaman, dan saling memberikan nasehat kebaikan.


Copy right @inspirasisegar