Thursday, March 27, 2014

Belajar Dari (Dua) Umar


Umar bin Abdul Aziz, seorang laki-laki yang disebut-sebut sebagai khalifah ke 5 kaum muslimin. Dalam waktu kurang dari 3 tahun dia memerintah, rakyat merasakan kemakmuran dan kebahagiaan. Bahkan saat itu, tidak ada penduduk yang mau menerima zakat karena mereka semua berzakat. Binatang buas (serigala) yang seladang dengan domba-domba pun enggan untuk memangsa domba yang digembalakan. Begitulah seorang pemimpin yang dirahmati dan membawa rahmat bagi seluruh rakyatnya. Para musafir yang datang ke negeri muslim diterima sebagai tamu, dijamu, dan disediakan penginapan. Kita semua merindukan seorang pemimpin yang demikian.


Umar bin Abdul Aziz tidak sebagaimana pemimpin sebelumnya, berjalannya tanpa pengawal, tunggangannya sederhana, dan kehidupan rumah tangganya juga sederhana. Kepemimpinan yang menjadikan cermin bagi para pemimpin masa sekarang. Keteladanan sepanjang zaman bagi generasi manusia. Saat sekarang ketika para pemimpin hidup glamour, meminta kenaikan gaji saat kemiskinan meningkat, kunjungan ke masyarakat dengan iring-iringan yang membuat macet, dan kekayaan penguasa berlimpah sedangkan rakyatnya menderita. Kita membutuhkan pemimpin yang menjadi teladan, dari Umar bin AbdulAziz kita belajar.


Hari itu adalah hari pertama Umar binAbdul Aziz diangkat sebagai khalifah.
“Apa yang sedang engkau lakukan ayah?”, tanya Abdul Malik, anaknya tercinta.
“Aku sedang beristirahat sejenak sembari menunggu waktu dzuhur, hari ini cukup melahkan”, begitu kira-kira jawabUmar.
“Ayah, siapa yang menjamin usia ayah sampai dzuhur?”, ucap Abdul Malik mengingtakan ayahnya.


Umar bin Abdul Aziz sesegera beranjak lalu menghampiri anaknya. Dikecup kening anaknya seraya berucap syukur atas karunia yang Allah SWT berikan. Dia tidak memarahi anaknya tetapi justru bersyukur. Ucapan Abdul Malik yang mengingatkan dirinya bahwa menjadi pemimpinitu akan ditanyai pertanggungjawaban.


Sangatlah manusiawi ketika Umar binAbdul Aziz tiduran sejenak. Dari pagi dia sudah sibuk mengurusi pemakaman saudaranyadan mengurus rakyat. Namun demikian, kesadarannya sebagai pemimpin dan amanah besar yang kelak dimintai pertanggungjawaban membuatnya bersegera bangkit. Rasa lelahnya seolah hilang seketika. Seperti Umar bin Khatab yang tidak bisa tidur pulas jika urusan rakyatnya belum tuntas. Kakek Umar bin Abdul Aziz yang tidurnya di serambi masjid beralaskan pelepah kurma dan tanpa pengawalan seorangpun. Panglima Romawi yang tertawan berucap perihal Umar bin Khatab, “Engkau tidur pulas karena engkau telah mengurus urusan rakyat”. Cerminan bagi para pemimpin sepanjang zaman. Kala ada para pemimpin yang cuti dari mengurus rakyat hanya untuk berkampanye. Bagaimana dia menjawabnya jika nantinya ditanya di akhirat? Tidak mudah menjadi pemimpin.


Sebuah kehati-hatian perlu kiranya dimiliki seorang pemimpin. Kehati-hatian yang merupakan cerminan dari keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT bukan sifat keraguan. Layaknya Umar bin Khatab saat dilapori rakyatnya perihal kuda-kuda gemuk milik putranya. Abdullah bin Umar memang membeli kuda-kuda yang awalnya kurus lalu digembalakan di tempat penggembalaan Madinah. Namun Umar bin Khatab memiliki pandangan lain, dia khawatir jika para penduduk memberi perlakuan spesial karena orang-orang tahu bahwa kuda-kuda yang digembala milik putranya, anak amirul mukminin. Umar tidak ingin kedudukan digunakan keluarganya untuk mendapat perlakukan khusus. Putranya pun diminta untuk menjual kuda-kuda tersebut dan hanya mengambil uang sebesar modal awalnya. Renungan bagi kita semua agar menempatkan kehati-hatian yang sekarang dikenal dengan istilah penyalahgunaan wewenang.


Pelajaran lain yang masyur kita dapatkan dari Umar bin Abdul Aziz. Pastilah kisah tentang suatu malam ketika seorang tamu datang padanya dan pembicaraan dilakukan tanpa penerangan lampus udah sampai pada kita. Tamu yang datang ingin membicarakan sesuatu lalu ditanya oleh Umar bin Abdul Aziz perihal maksud kedatangannya apakah untuk urusan rakyat atau untuk urusan pribadi. Ternyata kedatangan tamu tersebut untuk kepentingan pribadi. Lampu kerja Umar bin Abdul Aziz pun dimatikan seraya dia berucap, “Lampu ini milik rakyat sedangkan kedatanganmu untuk urusan pribadi”. Umar tidak ingin dirinya kelak ditanya diakhirat tentang minyak lampu yang digunakannya. Dia tidak ingin disebut menggunakan fasilitas Negara untuk kepentingan pribadi. Lagi-lagi pelajaran penting kita dapatkan.


Kepemimpinan bukanlah dinasti dan warisan dari garis keturunan. Negara ini bukan warisan keluarga sehingga siapapun yang memiliki kualitas dan kapasitas diri paling layak menjadi pemimpin. Abdullah bin Umar adalah anak Umar bin Khatab yang dikenal kapasitasnya dan termasuk sahabat terbaik. Para sahabat banyak yang mendukungnya menjelang Umar bin Khatab wafat. Namun demikian, Umar bin Khatab tidak menginginkan hal demikian. Dia menunjuk beberapa sahabat terbaik untuk bermusyawarah dan memilih pemimpin yang terbaik. Kita mengambil banyak pelajaran tentang Umar bin Abdul Aziz dan Umar bin Khatab.