Monday, September 10, 2012

Unfinished Bussiness: Berdamai dengan Diri Sendiri


Pernahkah merasa sangat ingin melakukan sesuatu dan paham betul bahwa sesuatu itu baik tetapi entah kenapa seolah berat untuk melaksanakannya? Mungkin pula sudah sekian kali mencoba membangun hubungan tetapi sekian kali juga hubungan tersebut berakhir tidak menyenangkan? Entah berapa banyak mencoba membuka usaha, sekian banyak pula menghadapi kegagalan? Antara orang yang satu dengan yang lain mungkin memiliki hal yang berbeda tetapi polanya serupa. Ada semacam penghambat dari dalam diri yang disadari keberadaannya menghambat tetapi belum juga mendapatkan penyelesaian. Saya menyebutnya, “Unfinished Bussiness”.
 
Beban masa lalu yang belum terselesaikan, terbawa ke masa sekarang, dan mengakibatkan hambatan dalam pencapaian. Ibaratkan kerjaan kantor yang setiap belum selesai kemudian dimasukkan dalam tas kerja, makin hari kian bertambah, dan semakin berat pula membawanya. Mau tidak mau, setiap pekerjaan yang belum selesai mesti dikerjakan. Jika tidak bisa diselesaikan sendiri bisa meminta bantuan pada orang lain. 

Secara psikologis, beban yang mengganggu bisa dibilang adalah beban emosional. Isi dari perasaan tidak menyenangkan dari pengalaman-pengalaman dari masa lalu yang belum sempat tersolusikan. Perasaan kegagalan, rasa tidak berdaya, kecil hati, perasaan tidak mampu, dan berbagai hal yang terakumulasi dari pengalaman tidak menyenangkan yang berulang. Sungguh pastinya hal demikian tidaklah nyaman. Tentu setiap orang ingin merdeka dari penjajahan masalah yang mengganggu pikiran. 

Sebuah ilustrasi seorang yang sudah lama membuka usaha tetapi belum juga mendapati kesuksesannya. Dari tahu ketahun begitu-begitu saja, mengalami stagnasi, bahkan karena belum juga menikmati hasil memuaskan, kinerjanya semakin mengalami penurunan. Orang tersebut membawa masalah yang dihadapi pada seseorang untuk mendapatkan solusi. Dari diskusi yang mendalam, didapati bahwa secara konsep diri, dia merasa dirinya kecil, tidak layak, minder, dan merasa terpinggirkan. Memang sejak kecil apapun prestasi dan usaha yang dilakukan, tidak ada apresiasi dari lingkungan yang diterimanya. Lebih-lebih lagi latar belakang orangtua yang sibuk karena pekerjaan, tidak banyak memberinya waktu dalam dukungan ketika menghadapi kesulitan. Apa-apa dipendam sendiri, apa-apa disimpan dalam perasaan, dan hapir-hampir jarang terlihat senyum dari wajahnya. “Unfinished Bussiness” yang perlu segera untuk diatasi. 

Tidak semua permasalahan sebenarnya harus diselesaikan. Berapa banyak kejadian di masa lalu yang seseorang anggap sebagai masalah kala itu tetapi selesai begitu saja tanpa pernah seseorang tadi menyelesaikannya? Hal yang perlu dipahami bahwa masalah yang hadir datang sebagai guru tempat seseorang belajar akan arti kehidupan. Dengan demikian, bisa dipahami jika seseorang tidak lulus belajar dari guru tersebut, seseorang tadi bertemu guru lain dengan materi yang serupa. “Remidi”, begitu istilah anak sekolahan. Selain itu, masalah terkadang hadir seolah hanyalah sebagai tamu. Sebagaimana tamu, wajib bagi tuan rumah untuk melayani dengan baik. Setelah dilayani, tamu tersebut akan pergi sendiri pada waktunya. Dan perlu juga dipahami, sebaik apapun tamu, ada saatnya pamitan (pergi), biarkanlah tamu tersebut berpamitan dan dilepas dengan senang. Masalah yang mengganggu perasaan ibarat tamu yang disekap dalam rumah dan tamu tersebut kemudian ‘mengamuk’ isi rumah. Rumah itu sendiri adalah fisik seseorang. Bisa dipahami, mereka yang menyimpan lama beban pikiran dan perasaan akhirnya berdampak pada fisiknya. Semoga segera lega melepaskan beban dalam dirinya dan merasakan kemerdekaan untuk bahagia.

Dalam banyak kesempatan, ada problem kehidupan yang sebenarnya hadir hanya untuk diakui bahwa problem itu ada. Ibaratkan anak kecil yang mencari perhatian seorang bapak sehabis bapaknya pulang dari kantor. Lelah memang yang dirasakan bapak tersebut seharian bekerja tetapi namanya anak kecil, tetap meminta perhatian. Lalu bagaimana menghadapi situasi demikian? Sederhana sebenarnya ternyata, temanilah anak kecil tersebut, bermainlah. Dia hanya meminta untuk diperhatikan, dianggap ada, dan tidak ingin diabaikan. Setelah itu, paling tidaklah lama, si anak akan tenang sendiri. Begitu ilustrasinya.

Penulis buku inspiratif MASTER from minder”. Buku yang menginspirasi ribuan orang di Indonesia untuk bangkit dari kegagalan dan optimis dari keadaan terbatas menjadi teratas dalam kesuksesan. Menyukai berbagi inspirasi melalui tulisan, buku, radio, telivisi, dan langsung dengan mengisi training juga sharing. Sekarang sedang mendalami Profesi Psikolog Klinis di Universitas Gadjah Mada. FB Inspiring Man, twitter @inspirasisegar.