Monday, December 31, 2007

Tahun 2008 adalah Milikku, Perayaan Tahun Baru Biarlah Milikmu


by Pariman, Psikologi Undip

Waktu Subyektif

Masing-masing orang mempunyai penghayatan yang berbeda terhadap peristiwa yang dialaminya. Peristiwa yang dialami bisa memunculkan suasana perasaan, baik dihayati sebagai perasaan senang atau susah. Lebih lanjut lagi, suasana itu kemudian turut menentukan tindakan yang dilakukan seseorang.

Pernah mengikuti presentasi kuliah atau seminar yang terasa ‘membosankan,’ garing? Bikin orang males mendengarkan, cuek? Mereka yang pernah mengikuti pelajaran yang ‘membosankan’ pasti bisa merasakan. “Sebenarnya tidak begitu berminat, namun karena diwajibkan mengambil, maka tidak ada pilihan lain.” Dua SKS (100 menit) rasanya begitu lama, serasa berjam-jam. Orangnya sih duduk di kelas tetapi pikirannya kemana-mana.

Sungguh beda rasanya ketika dibandingkan dengan ngobrol santai dengan temen apalagi temen lama yang baru bertemu, saking sudah lama berpisah. Ngobrol lama, sampai pagi pun dilakoni dan terasa hanya sebentar. Perasaan senang menjadikan waktu lama terasa begitu singkat.

Adanya HP sangat membantu mempererat kembali komunikasi. Jadi ingat fasilitas free talk tengah malam. Anak muda berusaha memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menghubungi friend-friend lamanya, maklum bisa ngirit. Kalau tarif normal, bisa jebol isi kantong. Bangun tengah malam pun diperjuangkan. Bayangin aja yang biasanya molor sampai pagi tetapi mesti tidur siang dulu atau nyalain alarm.

Tidak bisa dibayangin, seandainya kita bikin borring orang lain. Entah dengan presentasi di depan kelas yang garing, nyebelin. “Kalau sekedar membaca slide, gua juga bisa tetapi jelasin dong biar gua mudheng ?!” Wajarkan, kalau ada yang berkomentar seperti itu.

Teman-teman kita aja yang masih hormat atau kurang asertif, tidak berkomentar. Paling disampaikan dalam bentuk lain, entah ngobrol, main games HP atau ngegambar yang lagi presentasi. Jangan salah dong. “Gua bisa lakukan hal lain yang lebih bermanfaat daripada mendengarkan presentasi yang tidak menarik.” Ganti chanel.

Waktu (antara Kenangan, Realitas, dan Harapan)

Semua orang datang ke masa sekarang membawa serta masa lalunya. Ada kenangan yang senantiasa dirindukan. Ada pengalaman pahit yang senantiasa menjadi pelajaran. Masa lalu yang sempat menggembleng setiap insan dan mengantarkannya pada kedewasaan.

Dalam perjalanan menuju masa sekarang banyak masalah yang menghampiri. Ada dari kita yang menyapa, berkenalan, dan beradaptasi terhadap masalah itu, namun ada juga yang mengeluh dan menyingkir. Kesadaran membawa seseorang kepada kepemahaman kalau ternyata masalah itu mendewasan. Masalah sebagai masa orientasi yang melatih kemampuan dan memaksa seseorang mengaktifkan semua potensi yang dimilikinya.

Kegagalan pun mewarnai masa lalu. Kegagalan yang dirasakan begitu menyakitkan. Marilah kita ambil sudut pandang yang lain. Kegagalan menjadikan seseorang lebih berhati-hati, berefleksi kembali terhadap apa yang pernah dilakukan, dan menjadikan perencanaan lebih baik lagi. Senantiasa ada pelajaran kebajikan dalam setiap kegagalan. Kegagalan diri sendiri ataukah kegagalan orang lain pada dasarnya begitu berharga untuk diambil maknanya.

Perjumpaan dengan kejayaan, baik prestasi atau apapun yang membuat seseorang tersenyum atau menangis bahagia sungguh berkesan di hati. Kemenangan yang menjadikan semangat berkobar, menyala-nyala, bercampur kerinduan hati untuk segera menemui kembali. Kerinduan itu pula barangkali yang menjadi semangat Reanaisance hingga Eropa sekarang memimpin dunia. Barangkali kejayaan Islam generasi pertama pun harus ditumbuhkan dalam hati. Biarlah terwujud kembali pada masa kini atau nanti. Namun, perlu juga diperhatikan jangan sampai terhanyut kesuksesan masa lalu hingga menjadikan berbangga hati. Kesuksesan yang memasung diri, menjadikan diri mati berinovasi.

Bukan Determinisme Masa Lalu

Latar belakang dan pengalaman yang pernah ditemui tidaklah bisa dipungkiri keber-ada-annya. Pengaruhnya begitu nampak dalam cara berpikir, merasa, dan laku seseorang. Ada orang yang merasa terganggu kehidupannya dikarenakan pengalaman traumatis yang pernah dialaminya di masa lalu. Namun, kesadaran memahamkan kita bahwa manusia bukanlah emosi yang dikendalikan oleh kondisi lingkungannya. “Walaupun angin bertiup dari utara ke selatan, seseorang bebas menentukan arah langkahnya, tidak harus ke selatan.”

Thomas Alva Edison dulu dianggap orang yang bebal dalam pelajaran matematika di sekolah. Namun, nyatanya dia membuktikan dirinya bahwa ‘stempel’ bebal itu bukanlah menjadi penghalang, malah menjadi tantangan. Berkat kerja keras dan ketekunannya, umat manusia bisa menikmati terangnya malam dengan lampu pijar.

Keberhasilannya tidak lepas dari cara pandang Edison yang unik terhadap kegagalan. Beratus percobaan dia lakukan namun belum menemui keberhasilan. Apa yang dia katakan? “Aku bukannya gagal, namun aku berhasil menemukan bahan-bahan yang tidak baik untuk lampu pijar.”

Einstin semasa sekolah dianggap anak yang tidak berbakat oleh gurunya. Nyatanya dunia mengakui kalau dia ilmuan yang genius. Teorinya yang tersohor di bidang fisika tentang relativitas.

Bukanlah keterbatasan fisik, ekonomi, pengalaman gagal, traumatis yang menjadi penghalang. Keterbatasan mental yang mengkungkung langkahnya maju. Bukan perkara pinternya tetapi kepribadiannya pinter tetapi kalau malas (?) Bisa dipastikan tidak akan melejit sampai ke puncak kesuksesan.

Jadilah Pengukir Kenangan

Ada yang unik dari kenangan karena dia bisa muncul dalam kesadaran tanpa harus menemui dulu obyeknya. Kenangan datang bersama sampan kerinduan. Ya, kenangan datang bila hati seseorang merasakan kerinduan. Berita yang lebih menggembirakan lagi, kenangan itu bisa dipahatkan pada relief kehidupan. Pahatan yang dipersembahkan bukan hanya untuk pengukirnya saja, namun bagi semua orang. Mereka yang mempunyai semangat akan bisa melihatnya dengan menyusuri setiap relief perjalanan kehidupan orang-orang besar yang dengan ketulusan dan kerja keras memahatnya. Bukankah manusia yang terbaik adalah mereka yang banyak memberikan manfaat bagi orang lain? Bisa mempersembahkan yang terbaik bagi seluruh alam? Merekalah pengukir-pengukir peradaban.

Ayah pernah menasehatkan, “Nak, buatlah kerangka untuk kehidupanmu.” Singkat, namun mengandung makna yang dalam. Memang dalam kehidupan ini seakaan dihadapan kita terbentang rimba yang luas. Penjelajah rimba yang baik pastilah menyusun langkah-langkah untuk sampai kepada tujuannya dan mengantisipasi segala kemungkinan agar tidak tersesat nantinya. Mereka tidak main-main karena taruhannya adalah nyawa (kehidupan) yang hanya sekali.

Kerangka kehidupan. Bagaimana bentuknya? Istilah kerangka membawa kesadaran dan ingatan akan kerangka yang ada pada makhluk hidup. Entah, kerangka luar atau kerangka dalam, yang jelas mempunyai peran besar.

Kerangka berperan besar dalam membentuk, menegakkan tubuh, tempat melekatnya otot dan daging, melindungi organ-organ dalam yang vital, dan sebagai alat gerak pasif. Kerangka yang kuat dan bagus turut menentukan bagaimana tampang tubuh seseorang. Mereka yang merasa kurang percaya diri dengan wajahnya mengambil pilihan untuk operasi wajah. Dokter akan merubah sedemikian rupa tulang pipi, dahi, dagu, dan bagian wajah lainnya agar tampak proporsional atau cantik.

Kerangka bagi para ahli bangunan menjadi perhatian utama dalam perancangan bangunan yang akan didirikan. Kekuatan vital bangunan ditentukan oleh kerangkanya. Penghancuran gedung yang tinggi sekalipun bisa dilakukan dalam hitungan detik dengan menghancurkan bagian-bagian vital (pondasi) gedung itu.

Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. (QS An Nahl: 26)

Luar biasa peran kerangka. Bangunan kehidupan yang terbaik itu disusun dengan kerangka-kerangka perencanaan, dikokohkan dengan kuatnya visi, dibangun dengan kekuatan amal, dan dihiasi dengan ketulusan hati.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Hasyr: 18)

Manusia adalah arsitek-arsitek bagi kehidupannya sendiri, apa yang terbayang di kepalanya, itulah yang akan dia bangun nantinya. Ada ilustrasi yang menarik. Tiga orang yang sama-sama menyusun bata. Mereka ditanya tentang apa yang dilakukannya terhadap bata-bata itu. Orang pertama menjawab, “Saya sedang sibuk menumpuk bata-bata ini.” Orang kedua lebih serius lagi, “Saya sedang sibuk membangun rumah. Rumah yang ada tamannya di bagian belakang, ada kolamnya di samping, dan area bermain bagi keluarga.” Luar biasa. Orang ketiga lebih antusias lagi nampaknya. Dia menerawang jauh dengan mata berbinar, “Bata-bata ini nantinya akan menjadi bangunan. Bangunan yang akan menjadi saksi, seorang ibu yang melahirkan manusia-manusia, pemimpin umat dan pengukir peradaban. Bata-batanya akan menjadi saksi bagaimana seorang ayah yang mengispirasi dan menjadi teladan bagi keluarganya. Bangunan yang akan menyaksikan bagaimana putra-putri yang ceria dengan wajah yang optimis menatap masa depannya.” Setiap orang yang menemuinya akan dengan reflek mengatakan, “Inilah orang yang dinanti-nanti selama ini.”


Bayar Hidupmu dengan Prestasi

Banyak anggapan kalau usia 40 tahun merupakan golden age. Usia dimana seseorang menempati puncak karier dan peran-peran sosial di masyarakat. Hidup berkeluarga menjadi suami/istri, mendidik anak, menjadi pengurus organisasi masyarakat, dan aktif menjalankan bisnis.

Setelah masa dewasa akhir, masa lansia pun menyambut. Fungsi-fungsi fisik mulai menurun. Produksi hormon seksual semakin lambat dan terhenti, tubuh pun semakin lemah. Anak-anak pun sudah mulai dewasa dan meninggalkan rumah untuk bersekolah, kuliah atau menikah. Interaksi semakin jarang, paling sekali dalam satu bulan bahkan satu tahun ketika lebaran.

Kesepian mulai dirasakan, jauh dari anak, pasangan yang sudah mendahului. Kesepian itulah yang menyadarkan kembali esensi hidup. Prestasi-prestasi masa muda yang membanggakan membuat mereka puas. Refleksi yang membawa kembali pada rasa syukur kepada Allah dan mempersiapkan kehidupan setelah kehidupan. Biarlah, anak cucu yang akan meneruskan cita-cita yang belum tercapai.

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS Al Ahqaaf: 15)

Masing-masing orang berhak mengambil pilihan hidup dan bertanggung jawab pula terhadap semua tindakkan yang dilakukan. Prestasi seperti apa yang akan mereka torehkan dalam sejarah hidupnya 1, 2, 5, 10, 20 tahun kemudian. Kenangan seperti apa yang akan disampaikan orang-orang tentang diri mereka walaupun telah tiada.

"Tahun 2008 adalah milikku, akan aku ukir prasasti di sana. Bekali aku dengan do'a dan biarlah semua menjadi saksinya. Perayaan tahun baru ambillah semua, puaskan dirimu."

Wednesday, December 26, 2007

Paksakan Diri Menjadi yang Luar Biasa

By Pariman, Psikologi Undip

Muslim yang kuat lebih dicintai Allah daripada Muslim yang lemah tetapi pada keduanya ada kelebihan masing-masing. Itulah kira-kira bunyi Hadist yang semestinya menjadi perenungan bagi setiap Muslim. Siapa yang tidak ingin dicintai Yang Maha Pemilik Cinta? Kuat, jadilah yang terkuat dibanding yang lain. Be Extra Ordinary, setiap orang tentunya tidak ingin hanya menjadi manusia rata-rata. Manusia rata-rata hanyalah manusia tipe Mubah artinya ada atau pun tiada sama saja, enggak ngefek gito lho!

Memang tidak mudah menjadi manusia melebihi rata-rata. Mereka yang ingin melebihi rata-rata harus berpikir, merasai, dan melakukan lebih dibanding yang lain, menempuhi jalan sunyi, menyusuri onak dan duri. Bukanlah bunga dan aroma harum yang mereka temui selama perjalanan tetapi halangan, rintangan yang harus mereka lalui. Proses menjadi manusia melebihi rata-rata merupakan perjalanan panjang, tidak hanya dibutuhkan kekuatan ( shulton ) tetapi juga daya tahan (endurance). Tidak jarang mereka yang tidak kuat lalu mengundurkan diri, berguguran begitu saja. Lebih buruknya lagi, bangkai mereka menyebarkan bau busuk yang membuat orang menjauh dari jalan itu.

Lalu pertanyaannya, bagaimana kita mendapatkan kekuatan itu? Bukan kemana-mana kita harus mencarinya karena sebenarnya kekuatan itu ada didalam diri kita sendiri. Tugas kita adalah membangkitkan kekuatan itu, membangunkan raksasa yang tidur dalam diri kita. Bagaimana caranya?

Pertama, kita harus yakin dulu bahwa dalam diri kita ada potensi yang maha dahsyad. Manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk dan tidak ada ciptaan-Nya yang gagal. Jikalau ada manusia yang tidak lengkap bagian tubuhnya bukan berarti, dia manusia gagal. Yakinlah ada potensi luar biasa di sisi tubuh yang lain. Braile menemukan huruf untuk tuna netra, berawal dari semangat dan keyakinannya sebagai tuna netra bahwa Tuhan pastilah memberikan yang terbaik dalam diri setiap manusia. Benar, ternyata karena jasanyalah, mereka yang tuna netra bisa belajar, tidak kalah pintar dengan mereka yang lengkap. Ingat tuna netra yang ikut SPMB di UI? "Bukanlah fisik yang membatasi kita tetapi jiwa kita lah yang menjadikan seberapa besar diri kita."

Kedua, setelah kita menyadari, meyakini potensi besar dalam diri kita selanjutnya kita harus melakukan lebih dari yang semestinya. Seseorang menjadi juara karena dia melebihi lawan-lawannya. Juara 1 maraton misalnya, ia menjadi juara pertama karena kecepatannya lebih unggul dibanding peserta yang lain. "Bukan seberapa banyak yang kita lakukan tetapi yang penting adalah kita melakukan lebih dari yang biasa-biasa." Selisih waktu juara 1 dan juara 2 lomba renang tidak jarang hanya 0,0... detik, artinya melakuakn lebih walaupun itu hanya sedikit akan begitu berarti bagi kita. Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, dia lah orang yang beruntung dan barang siapa yang hari ini sama atau pun lebih buruk dibanding kemarin maka dia lah yang merugi (Hadits).

Ketiga, berpikir positif, artinya menyikapi setiap permasalahan tanpa prasangka buruk kepada siapa pun, apalagi kepada Allah karena prasangka itu jauh dari kebenaran. Prasangka buruk pula lah yang membatasi potensi kita. Tahukah sampai dimana batas potensi kita? Tidak ada yang tahu persis batas potensi kita kecuali, Allah. Sayangnya, tidak jarang dari kita mendiskon diri kita. Misalnya suatu waktu kita diminta untuk presentasi di depan kelas, coba kata-kata apa yang pertama kali terlontar dari mulut kita sebelum memulai presentasi ? ”Maaf apabila nanti ada salah karena saya kurang persiapan,” secara sekilas memang benar, tetapi cobalah renungkan apa efek dari kata-kata tadi. Kalau saya sebagai peserta, saya akan merasa tidak yakin kebenaran isi yang dipresentasikan. Sebagai presenter secara tidak langsung menurunkan mental sendiri dan mengurangi kekuatan ucapan kita.

Kita kurang persiapan memang benar tetapi tidak perlu kita sampaikan, nanti kalau ternyata ada salah pada yang kita presentasikan jadikanlah pelajaran. Tidak jarang juga kita diminta untuk melakukan sesuatu (menjalankan amanah) tetapi langsung menolak sambil mengatakan tidak sanggup, cari saja yang lain. Cobalah merenung sejenak, tidakkah sebenarnya itu muncul dari kemalasan, ketakutan? Coba kita pikirkan apakah kemalasan, ketakutan merupakan hal yang tampak (teknis)? Tidak, ternyata kemalasan, ketakutan merupakan dimensi mental jadi permasalahan sebenarnya karena kerdilnya mental kita. Tidakkah demikian ? ”Saya takut karena saya tidak bisa.” Itulah alasan kita, benarkah?

Coba bayangkan seandainya kaki Anda sakit yang sebelah (pincang), suatu hari Anda berjalan di sebuah gang yang sepi tiba-tiba ada seekor anjing yang megejar Anda. Bagaimana reaksi Anda padahal mau lari sulit? Saya yakin Anda pasti akan melawan anjing tadi dengan sekuat tenaga. Anda tentunya akan membela diri entah dengan memukul anjing dengan penganga tubuh yang Anda bawa, melemparnya dengan batu atau bahkan berusaha lari. Lari Anda akan lebih cepat dibanding ketika tidak dikejar anjing, benar? Padahal kaki anda sakit. Artinya dibutuhkan keberanian untuk melawan kekerdilan di dalam jiwa kita guna memunculkan potensi dahsyad kita. Untuk menjadi orang yang luar biasa terkadang diperlukan paksaan, perlu dipaksakan.



Monday, December 24, 2007

Psikoterapi untuk 'Penderita' Phobia Berdakwah

by Pariman, Psikologi Undip

Pernah melihat ayam?
Ingatkah akan ayam kampung?
Tahu bebek?
Kalau sudah pada ingat, kita mulai sekarang untuk membahasakan tentang DAKWAH terutama DAKWAH fardiyah. Pertanyaannya sekarang, ”Kenapa telur ayam kampung itu lebih mahal harganya dibanding telur bebek? Padahal telur bebek ukurannya lebih besar, gizinya lebih banyak dibandingkan telur ayam. Sudah menebak?” Jawabannya karena setelah bertelur, induk ayam langsung mengadakan konfrensi pers kalau dia sudah berhasil mengeluarkan telur. ”Petok, petok......” Kalau bebek tidak demikian, tidak ada 'konfrensi pers,' bahkan telurnya ditinggal begitu saja.

Ayam sudah melakukan yang kita sebut marketing. Marketing adalah ujung tombaknya suatu perusahaan atau pedagang. Bagaimanapun bagusnya suatu produk tetapi kalau tidak ada promosi, tidak mungkin orang yang tahu apalagi membeli. Begitulah kira-kira sedikit gambaran pentingnya marketing atau bahasa kita yang lebih luas dan dalam disebut Dakwah.

Banyak orang merasa tidak percaya diri untuk mengajak orang lain ke arah kebenaran atau mengajak orang lain menjauhi kesia-siaan. Bahkan ada yang beralasan, ”Saya tidak pinter ngomong di depan banyak orang.” Tidak mesti pinter orasi untuk menjadi da’i. Tidak mesti pinter presentasi di depan umum untuk menyampaikan kebaikan. Pernahkah merenungkan kalau kita diperintahkan untuk mengajak orang lain sesuai dengan bahasa dan kadar akalnya? Bagaimana kalau yang diajak adalah seorang yang bisu, lumpuh atau cacat fisik lainnya? Sehingga mereka tidak bisa diajak ngomong. Apakah harus dengan ngomong, pinter orasi untuk menyampaikan maksud kita kepadanya? Tidakkan.

Pengertian bahasa sendiri pada dasarnya merupakan ekspresi dari maksud yang ingin disampaikan seseorang kepada orang lain. Bayi yang baru lahir menyampaikan maksudnya (kegerahan, kehausan dll) dengan suara tangisnya. Dan seorang ibu memahami betul cara menjawabnya. Bukan dengan lisan karena bayi belum tahu, tetapi dengan bahasa kelembutan, perhatian, dan sentuhan. Artinya ada banyak cara untuk menyampaikan suatu maksud, ide, gagasan tidak hanya dengan lisan. So, tidak pas kalau alasannya karena tidak bisa ngomong. Kan masih bisa dengan bahasa lain (cara lain).

Mari kita petakan dan uraikan masalah yang sebenarnya. Pada dasarnya seseorang hanya memiliki dua hambatan dalam melakukan seseuatu.
a. Alasan pertama adalah alasan yang bersifat mental. Hambatan yang bersifat mental bisa diatasi disembuhkan dengan terapi mental juga.
b. Alasan kedua adalah alasan yang bersifat teknis. Hambatan teknis diselesaikan dengan teknis juga. Sekarang alasan tidak mengajak ke arah kebaikan, apakah alasan teknis atau alasan mental? Mari kita lihat bersama.

Alasan yang bersifat teknis misalnya seseorang ingin menjadi orator namun tidak bisa bicara di depan umum (belum terlatih). Cara mengatasi hambatan itu bisa dilakukan dengan rajin berlatih, membaca buku komunikasi atau training komunikasi efektif. Tabiat hambatan teknik adalah dia bisa diatasi dengan latihan dan usaha proaktif mengasah kekurangannya.

Alasan yang bersifat mental biasanya tidak bisa disampaikan secara lugas. Bisa saja orang menolak untuk berbicara di depan umum karena merasa grogi (tidak percaya diri). Mereka biasanya tidak mengatakan, ”Saya tidak PD” tetapi ”Saya tidak bisa ngomong di depan umum, tidak bisa.” Kalau perkaranya ’tidak bisa’ berarti teknis, bisa diatasi dengan teknis (latihan). Tetapi perkaranya akan lain kalau masalahnya ’tidak PD’, itu perkara mental atau psikologis dan harus segera mendapat ’psikoterapi’.

Masalahnya bukan karena keterbatasan fisik tetapi ’keterbatasan mental’. Tidak PD atau tepatnya kurang PD berangkat dari pikiran yang salah akan realitas yang dihadapinya. ”Jangan-jangan kalau salah bicara disorakin lagi.” Belum maju ke depan sudah yakin kalau akan celaka. Kita kan dilarang melakukan persangkaan negatif. Ingat ayatnya?! Ya, itu pokoknya.

Demikian pula cara mengatasinya, haruslah menyentuh langsung kepada bagaian yang ’sakit’. Mental, keyakinannya haruslah diubah dulu. Tidak akan berhasil dengan training, membaca buku, berlatih segala macam kalau keyakinan yang dimiliki tidaklah benar. Kalau sesorang mempunyai keyakinan yang benar akan sesuatu maka dia akan lebih PD. Penjual yang menawarkan produk yang berkualitas dan yakin akan produknya akan bisa menjual lebih banyak. Tetapi ada juga mereka yang menjual produk tidak begitu berkualitas karena bisa meyakinkan maka banyak juga yang melirik.

Berdakwah jelas produknya sangat bermutu. Bayangkan bonusnya, senilai dengan dunia seisinya, perumahan surga sudah menunggu. Pertanyaannya, "Sudahkah meyakini kalau yang kita pegang teguh ini adalah yang terbaik? Jangan-jangan belum." Perlu buka pendengaran, buka mata, dan buka hati lebih luas lagi, kalau itu masalahnya.

Bagaimana cara menyampaikan maksud (dakwah), banyak caranya Allah SWT tidak menentukan harus dengan tablig. Spanduk yang berisi himbauan kebaikan pun bisa saja menjadi salah satu sarananya. Allah SWT memberikan kata kunci yang harus kita pegang kuat agar sukses sesuai target yang kita tetapkan.

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS An Nahl: 125)

Percaya dirilah, yakinlah Allah senantiasa menyertai hamba-Nya.
Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan diantara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (Yaitu) orang-orang (yang mentaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: "Sesungguhnya manusia[250] telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka", maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: "Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar[251]. (QS Ali Imron: 171-174).

Yakinlah, perkataan terbaikmu
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?" (QS Fushshilat: 33)
Selamat menebarkan kebaikan sebagaimana sebuah hadist yang mengatakan bahwa manusia yang terbaik adalah yang banyak bermanfaat bagi orang lain (kontribusi nyata). Selamat berdakwah. "DAKWAH, PD aja lagi!"