Thursday, August 18, 2011

Pariman Siregar: Indonesia Raya, Indonesia(is)me


Big dan great”, dua term dari bahasa Inggris yang serupa tetapi tidaklah sama. Orang yang tubuhnya kelebihan lemak dan berat badan, kira-kira lebih lebih tepat disebut big atau great? Tembok yang ada di China dan ditetapkan sebagai salah satu keajaiban dunia bernama The Big Wall atau The Great Wall? Tokoh terkenal dunia Alexander The Great kira-kira sebutannya disebabkan karena luasnya wilayah yang dikuasai atau karena kebijaksanaan yang dimiliki?

“Big”, lebih tepat digunakan untuk mengungkapkan kesan materi yang tampak sedangkan “great” lebih tepat pada immateri yang tidak kelihatan tetapi bisa dirasakan keber-ada-anya. Indonesia ini biasa disebut sebagai Negara besar. Negara dengan luas wilayah melebihi ‘negara besar’ Jepang, kekayaan alam melimpah melebihi Singapura, penduduk muslim terbanyak dunia, dan berbagai hal lainnya. Namun demikian, “Indonesia isn’t called great but still called big”. Padahal jelas bisa kita dapati dalam pembukaan UUD 1945, bangsa ini memiliki great vision dan tidak menonjolkan big nya negeri ini.
Ketika PBB masih embrio berbentuk LBB, Indonesia sudah lahir. Ketika PBB lahir 1948 dengan deklarasi hak-hak asasi manusia, Indonesia sudah terlebih dulu dengan Pembukaan UUD 1945 yang kemudian diterjemahkan dalam Batang Tubuh UUD 1945. Terhitung 3 tahun lebih awal dari deklarasi PBB. Tidak hanya hak asasi manusia tetapi bahkan bangsa pun memiliki hak asasi dan itu menjadi kalimat pertama yang ditegaskan, “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa”. Setiap bangsa memiliki kemandirian menentukan arahannya, bebas dari segala bentuk intervensi, begitu kira-kira.

Jika PBB dimotori Amerika, mengatasnamakan hak asasi manusia terjun ke Libya dan berbagai Negara berkonflik lainnya, maka sudah seharusnya begitulah peran Indonesia. Konsekuensi bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa maka Indonesia memiliki dedikasi untuk menghapuskan penjajahan di atas dunia. Alasannya kenapa harus dihapuskan? “Karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”, begitulah isi paragrap awal pembukaan UUD 1945. Jelas bahwa Indonesia ada bukan sekedar menjadi big tetapi great.
Jika selama ini, Amerika dan Barat yang mengulurkan tangan memberikan bantuan pada Negara yang mengalami keterpurukan ekonomi maka sudah selayaknya Indonesia yang turun tangan pertama memberikan bantuan. Saat ada Negara lain yang terkena bencana maka Indonesialah yang pertama datang memberikan bantuan. Tentulah operasionalnya dimulai dari membangun bangsa sendiri. Indonesia for The World, itulah kira-kira semangat yang mesti berkobar dalam diri setiap warga Negara Indonesia dan pemerintah.

Sekali lagi, mind set yang selama ini terbangun lebih terkesan bahwa “Indonesia is big”. Padahal, sinyal bangsa yang mengandalkan big itu lemah sudah disampaikan Rasulullah. Beliau mengatakan bahwa suatu ketika ummat Islam (suatu bangsa) ibarat buih di lautan. Sahabat ketika itu bertanya, “Apakah jumlah kami sedikit ya Rasulullah?” Rasulullah mengatakan bahwa jumlahnya bahkan sangat banyak tetapi lemah sehingga mudah terombang ambing. Ibarat makanan yang kemudian diperebutkan musuh-musuhnya.
Dan sekarang kita bisa cermati Negara-negara yang big, memiliki cadangan minyak yang melimpah dan kekayaan alam luar biasa akhirnya pun jadi santapan Negara-negara lain yang imperialis. Runtuhnya imperium Islam juga imperium-imperium yang ada pun bisa dikatakan karena mereka bergeser dari great ke big. “Takut mati dan cinta dunia”, itu bahasa Rasulullah yang menjadikan ummat Islam kondisinya seperti buih di lautan. Hanya berpikir pragmatis, kebutuhan sesaat tanpa visi yang agung. Mari kita cermati diri kita sendiri, siapapun kita ini, pelajarkah? Politisikah? Pedagangkah? Pengajarkah? Apapun pekerjaan dan status kita. “Big or great?”

Untuk KONSULTASI, TRAINING, SEMINAR, BEDAH BUKU, dan HAL TERKAIT PENGEMBANGAN SDM silahkan kontak ke HP atau inbox ke FB Inspiring Man. Download Ebook GRATIS Pariman SIregar: "HIPNOTIS CINTA".

Wednesday, August 17, 2011

Tuhan, Pilihkan Takdir Terbaik-Mu


“Zizi, dia memang baik, cantik, tapi apa aku ini pantas menjadi anggota keluarga dari Kyai Miftah. Rasanya, banyak pemuda yang lebih layak untuk meminang Zizi. Apa aku ini ndak lebih baik menikah dengan yang pasti-pasti saja?”, begitulah sebagian dialog Film Dalam Mihrab Cinta. Kebimbangan Syamsul Hadi untuk menentukan pilihan pendamping hidup. Kedua orangtua Silvi (gadis cantik yang pernah dicopetnya hingga menghantarkan dirinya kembali menjadi orang baik) datang menawarkan Silvi untuk dinikahi Syamsul. Sementara dirinya sendiri ada perasaan cinta pada Zizi, anak Kyai Miftah yang sempat ditolongnya di kereta saat berangkat ngaji ke Kediri. Ibu Syamsul sendiri juga lebih condong pada Zizi. Apa yang dilakukan Syamsul untuk menentukan pilihannya? Dan bagaimana akhir cerita Dalam Mihrab Cinta?

Saya pikir semua pembaca sudah mengetahui bagaimana cerita dan ending dari film tersebut. Singkat cerita, atas saran ibunya, Syamsul shalat istiqarah mengharap pentunjuk dan memohon agar Allah pilihkan yang terbaik baginya. Pilihan jatuh pada Silvi. Dilamarlah Silvi dan berbagai persiapan menjelang pernikahan pun dilakukan; pemilihan baju penganten, undangan, dan penentuan hari pernikahan. Sebagaimana kita tahu bersama kemudian pernikahan dengan Silvi tidak jadi berlangsung karena Silvi meninggal dalam kecelakaan saat mengantarkan undangan pada familinya di Bogor. Ending dari Dalam Mihrab Cinta, Syamsul menikahi Zizi.
Kebimbangan dalam menentukan pilihan pasangan hidup! Saya tidak tahu apakah hampir semua orang mengalami hal tersebut ataukah hanya terjadi dalam film-film saja. Sepertinya memang sudah menjadi “begitu adanya” ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang mengandung konsekuensi serius, dia mengalami kebimbangan. Fase dimana seseorang terselimuti berbagai pertimbangan atas konsekuensi dari pilihan yang akan dia ambil. Rasa harap atas pilihan yang diambil berakibat kebaikan dan rasa takut akan kemungkinan yang tidak mengenakkan di kemudian harinya.

Dalam situasi yang demikian, seseorang membutuhkan orang lain untuk sekedar menggambarkan situasi (pilihan dan konsekuensi) yang mungkin akan terjadi hingga memberikan penguatan positif (dukungan) pilihan yang dianggapnya terbaik. Situasi yang menyadarkan manusia akan kelemahan dirinya dalam menyibakkan kabut dihadapan. Dia merasa butuh kekuatan yang Maha Sempurna, tempatnya berpasrah diri, menyerahkan keputusan terbaik, dan persangkaan terbaiknya pada Allah SWT. Mempercayakan “logika langit” atas berbagai keputusan yang terjadi. Dan sebagaimana kita ketahui, saat seseorang dalam keadaan yang demikian “keajaiban” Allah SWT yang berjalan. Unik, elegan, dan sangat ajaib. Barangkali itulah sebagian makna QS Ath Thalaaq : 2-3, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…”.
…Tapi apa aku ini pantas... Rasanya, banyak … yang lebih layak …” Sungguh menarik mencermati kata-kata Syamsul. Walaupun ada rasa suka dan ingin dalam dirinya tetapi dia juga menyadari akan kemungkinan ada orang yang lebih layak dibanding dirinya untuk mendampingi Zizi.

Tidak sedikit mereka yang menjalani proses saling mengenal (ta’aruf) melalui guru-guru (murabbi, murabbiyah) mereka tetapi tidak kunjung menemukan pilihan yang dianggapnya terbaik. Semoga hal tersebut bukan dikarenakan mereka over esteem. Menganggap dirinya “lebih” lalu menampik nama-nama yang diajukan karena anggapan nama tersebut tidak cukup layak mendampingi dirinya. Rasa memiliki visi yang menjulang tinggi sedangkan orang yang diajukan dianggapnya tidak cukup mampu untuk bersama-sama mewujudkan visi tersebut. Usia diri yang lebih muda dan beranggapan lebih layak mendapatkan yang lebih muda dst. Berbagai persepsi akan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya yang berkesimpulan bahwa dirinya merasa bisa mendapat hal “lebih”. Bukan sebagai perwujudan kepercayaan diri tetapi rasa sombong yang berkamuflase dengan berbagai rasionalisasi. Kalimat reflektif yang perlu rasanya direnungkan, “Tapi apakah aku ini pantas? Rasanya ada banyak yang lebih layak mendampinginya”.
Apa aku ini ndak lebih baik menikah dengan yang pasti-pasti saja?”, pikir Syamsul. Kehidupan ini memang sarat dengan rahasia dan sudah menjadi tabiat manusia lebih condong pada yang pasti-pasti saja. Suatu sebab yang melahirkan akibat, itulah yang manusia anggap sebagai kepastian dalam hidup. Karena itulah manusia mencoba untuk “memastikan” akibat yang diinginkan dengan membuat sebab-sebab. Namun demikian, ada dari mereka yang lupa bahwa takdir Allah SWT lah yang menjadi sebuah kepastian bukan sebab-sebab yang mereka buat. Berapa banyak mereka yang “mengatur-atur”, membuat “prediksi-prediksi”, seolah apa yang dilakukan sebagai sebuah kepastian justru malah mempersulit diri mereka sendiri bahkan ada orang lain yang terkena dampaknya. ‘Ijtihat itu ada peran rasionalitas tetapi tidak sampai meninggalkan pengakuan bahwa Kuasa Allah di atas segalanya.

"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”, QS Al Furqaan: 54.
(Bersambung)
Untuk KONSULTASI, TRAINING, SEMINAR, BEDAH BUKU, dan HAL TERKAIT PENGEMBANGAN SDM silahkan kontak ke HP atau inbox ke FB Inspiring Man. Download Ebook GRATIS Pariman SIregar: "HIPNOTIS CINTA".