Wednesday, August 17, 2011

Tuhan, Pilihkan Takdir Terbaik-Mu


“Zizi, dia memang baik, cantik, tapi apa aku ini pantas menjadi anggota keluarga dari Kyai Miftah. Rasanya, banyak pemuda yang lebih layak untuk meminang Zizi. Apa aku ini ndak lebih baik menikah dengan yang pasti-pasti saja?”, begitulah sebagian dialog Film Dalam Mihrab Cinta. Kebimbangan Syamsul Hadi untuk menentukan pilihan pendamping hidup. Kedua orangtua Silvi (gadis cantik yang pernah dicopetnya hingga menghantarkan dirinya kembali menjadi orang baik) datang menawarkan Silvi untuk dinikahi Syamsul. Sementara dirinya sendiri ada perasaan cinta pada Zizi, anak Kyai Miftah yang sempat ditolongnya di kereta saat berangkat ngaji ke Kediri. Ibu Syamsul sendiri juga lebih condong pada Zizi. Apa yang dilakukan Syamsul untuk menentukan pilihannya? Dan bagaimana akhir cerita Dalam Mihrab Cinta?

Saya pikir semua pembaca sudah mengetahui bagaimana cerita dan ending dari film tersebut. Singkat cerita, atas saran ibunya, Syamsul shalat istiqarah mengharap pentunjuk dan memohon agar Allah pilihkan yang terbaik baginya. Pilihan jatuh pada Silvi. Dilamarlah Silvi dan berbagai persiapan menjelang pernikahan pun dilakukan; pemilihan baju penganten, undangan, dan penentuan hari pernikahan. Sebagaimana kita tahu bersama kemudian pernikahan dengan Silvi tidak jadi berlangsung karena Silvi meninggal dalam kecelakaan saat mengantarkan undangan pada familinya di Bogor. Ending dari Dalam Mihrab Cinta, Syamsul menikahi Zizi.
Kebimbangan dalam menentukan pilihan pasangan hidup! Saya tidak tahu apakah hampir semua orang mengalami hal tersebut ataukah hanya terjadi dalam film-film saja. Sepertinya memang sudah menjadi “begitu adanya” ketika seseorang dihadapkan pada situasi yang mengandung konsekuensi serius, dia mengalami kebimbangan. Fase dimana seseorang terselimuti berbagai pertimbangan atas konsekuensi dari pilihan yang akan dia ambil. Rasa harap atas pilihan yang diambil berakibat kebaikan dan rasa takut akan kemungkinan yang tidak mengenakkan di kemudian harinya.

Dalam situasi yang demikian, seseorang membutuhkan orang lain untuk sekedar menggambarkan situasi (pilihan dan konsekuensi) yang mungkin akan terjadi hingga memberikan penguatan positif (dukungan) pilihan yang dianggapnya terbaik. Situasi yang menyadarkan manusia akan kelemahan dirinya dalam menyibakkan kabut dihadapan. Dia merasa butuh kekuatan yang Maha Sempurna, tempatnya berpasrah diri, menyerahkan keputusan terbaik, dan persangkaan terbaiknya pada Allah SWT. Mempercayakan “logika langit” atas berbagai keputusan yang terjadi. Dan sebagaimana kita ketahui, saat seseorang dalam keadaan yang demikian “keajaiban” Allah SWT yang berjalan. Unik, elegan, dan sangat ajaib. Barangkali itulah sebagian makna QS Ath Thalaaq : 2-3, “Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya…”.
…Tapi apa aku ini pantas... Rasanya, banyak … yang lebih layak …” Sungguh menarik mencermati kata-kata Syamsul. Walaupun ada rasa suka dan ingin dalam dirinya tetapi dia juga menyadari akan kemungkinan ada orang yang lebih layak dibanding dirinya untuk mendampingi Zizi.

Tidak sedikit mereka yang menjalani proses saling mengenal (ta’aruf) melalui guru-guru (murabbi, murabbiyah) mereka tetapi tidak kunjung menemukan pilihan yang dianggapnya terbaik. Semoga hal tersebut bukan dikarenakan mereka over esteem. Menganggap dirinya “lebih” lalu menampik nama-nama yang diajukan karena anggapan nama tersebut tidak cukup layak mendampingi dirinya. Rasa memiliki visi yang menjulang tinggi sedangkan orang yang diajukan dianggapnya tidak cukup mampu untuk bersama-sama mewujudkan visi tersebut. Usia diri yang lebih muda dan beranggapan lebih layak mendapatkan yang lebih muda dst. Berbagai persepsi akan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya yang berkesimpulan bahwa dirinya merasa bisa mendapat hal “lebih”. Bukan sebagai perwujudan kepercayaan diri tetapi rasa sombong yang berkamuflase dengan berbagai rasionalisasi. Kalimat reflektif yang perlu rasanya direnungkan, “Tapi apakah aku ini pantas? Rasanya ada banyak yang lebih layak mendampinginya”.
Apa aku ini ndak lebih baik menikah dengan yang pasti-pasti saja?”, pikir Syamsul. Kehidupan ini memang sarat dengan rahasia dan sudah menjadi tabiat manusia lebih condong pada yang pasti-pasti saja. Suatu sebab yang melahirkan akibat, itulah yang manusia anggap sebagai kepastian dalam hidup. Karena itulah manusia mencoba untuk “memastikan” akibat yang diinginkan dengan membuat sebab-sebab. Namun demikian, ada dari mereka yang lupa bahwa takdir Allah SWT lah yang menjadi sebuah kepastian bukan sebab-sebab yang mereka buat. Berapa banyak mereka yang “mengatur-atur”, membuat “prediksi-prediksi”, seolah apa yang dilakukan sebagai sebuah kepastian justru malah mempersulit diri mereka sendiri bahkan ada orang lain yang terkena dampaknya. ‘Ijtihat itu ada peran rasionalitas tetapi tidak sampai meninggalkan pengakuan bahwa Kuasa Allah di atas segalanya.

"Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”, QS Al Furqaan: 54.
(Bersambung)
Untuk KONSULTASI, TRAINING, SEMINAR, BEDAH BUKU, dan HAL TERKAIT PENGEMBANGAN SDM silahkan kontak ke HP atau inbox ke FB Inspiring Man. Download Ebook GRATIS Pariman SIregar: "HIPNOTIS CINTA".

3 comments:

  1. Di satu sisi,, biarkan 'dia [jodoh kita]' datang dengan caranya yang unik..

    ReplyDelete
  2. Jika takdir, pasti bertemu, meski di ujung dunia sekalipun...

    ReplyDelete