Saturday, December 20, 2014

Masa Membangun "Trust" Dalam Diri Anak

Kehadiran buah hati itu memang menjadikan para orangtua banyak belajar. Jika orangtua meminta anak untuk menjadi anak yang baik, sudah sepantasnya orangtua juga belajar menjadi orangtua yang baik. Sadarkah orangtua akan pentingnya untuk belajar menjadi orangtua dalam mendidik anak?
Seperti biasa, pagi dan sore menjadi rutinitas bagi kami untuk mandiin anak. Awalnya ibu mertua yang mandiin, kami mengamati dan belajar caranya mandiin bayi. Beberapa waktu kemudian istri saya sudah berani dan bisa. Selanjutnya, saya juga sudah bisa mandiin bayi. Kami bisa secara bergantian mengatur jadwal mandiin anak dan istri saya biasanya paling banyak punya kesempatan. Jika istri yang mandiiin, saya menyodorkan jari telunjuk ke dalam genggaman tangan anak. Demikian pula sebaliknya, jika saya yang mandiin, istri membiarkan jari telunjukkan dipegangi anak. Bersentuhan dengan air terkadang menjadi pemicu tangis anak, kami ingin menjadikan mandi sebagai aktifitas yang membuatnya aman. Dengan menyediakan “pegangan” pada anak, saat mandi menjadi waktu yang menyenangkan bagi anak kami. Kami ingin mengatakan pada buah hati kami, “Kamu aman anakku, ayah sama bunda bersamamu”.
Air untuk mandi juga kami siapkan cukup hangat, sehangat kasih sayang ayah dan bundanya. Kehangatan bagi anak menjadi hal yang penting baik bagi pertumbuhan fisiknya maupun perkembangan psikologisnya. Kami sudah terbiasa setelah mandi memakaikan bajunya dan membedongnya pada sebulan pertama. Bedong bagi bayi ternyata menjadikannya terasa hangat dan nyaman. Kami belajar mengamati dari ibu mertua yang membedongnya saat pekan pertama. Ibu mertua saya sempat minta diajari sama perawat ketika menjelang pulang persalinan istri saya di rumah sakit saat itu. Karena itulah, kami menyadari sebagai orangtua perlu banyak pelajar. “Biarkan kami belajar anakku, kami masih orangtua yang baru”, begitulah ucap saya pada awal-awal pekan pertama saat mendapati anak saya menangis.
Sebagai orangtua, saat mendapati anak terasa tidak nyaman atau menangis, tentunya ingin segera bertindak untuk menjadikan anak nyaman kembali. Sama-sama terdengar sebagai tangisan tetapi ternyata memiliki makna yang beragam. Istri saya yang belajar linguistik saat S2 juga perlu banyak belajar untuk mengidentifikasi apa yang sebenarnya dimaui oleh anak kami. Saya sebagai orang yang belajar psikologi apalagi, benar-benar sadar bahwa saat menjadi orangtua adalah saat belajar psikologi yang sesungguhnya. Hal itu juga yang barangkali menjadikan Abraham Maslow memiliki pandangan baru tentang manusia saat kelahiran anaknya. Pandangan-pandangannya yang sekarang dikenal dunia psikologi sebagai psikologi  humanistik.
Sempat terpikirkan oleh kami untuk tidak segera meresponnya ketika anak kami menangis. Pikirnya biar anak kami juga belajar bertoleransi, menunggu, sabar barulah kami menyediakan yang dimauinya. Syukurlah, hal tersebut tidak kami lakukan setelah kami merenungkan kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya. Masa-masa anak usia 0-2 tahun adalah masa-masa anak belajar tentang “trust” pada lingkungan sosialnya. Jika orangtua dengan segera merespon anak, maka anak akan belajar “trust” pada orangtuanya bahwa orangtuanya ada untuk dirinya. Dalam diri anak terbangun rasa aman sehingga tidak mudah rewel, merajuk, dan mudah ditenangkan. Usia 0-2 tahun bukanlah saat yang tepat untuk membiarkan anak menangis, walaupun menangis itu katanya bagus untuk kesehatan jantung. Jika anak terbiasa menangis lama baru mendapat respon, anak akan membuat pola ketika ada hal kecil lalu menangis. Sebelum itu terjadi, jadikanlah masa-masa 0-2 tahun sebagai masa memberikan kenyamanan dengan respon yang sigap atas ketidaknyamanan yang dirasakan anak. Bangunlah pondasi “trust” yang kuat dalam diri anak. Tidak perlu terburu mengajarkan anak kesabaran menunggu atau tolerasi atas “kemalasan” dalam kesegeraan merespon anak. Sekali lagi, belum saatnya anak belajar “autonomy” atau kemandirian.
Bayi yang masih sangat tergantung pada lingkungan menggunakan pola stimulus dan respon dalam berinteraksi dengan lingkungan. Anak memberikan stimulus, orang disekitarnya merespon. Respon yang diberikan sekaligus berfungsi sebagai hadiah bagi anak sehingga akan memperkuat terbangunnya sebuah pola perilaku. Tidak segera memberikan respon bisa ditanggapi anak sebagai hukuman dan pahamilah bahwa setiap orang tidak akan suka menerima hukuman apalagi anak-anak. Kuatkanlah “trust” anak dengan terbiasa memberikan respon (hadiah) baginya. Sebagai orangtua, kebahagiaan orangtua itu adalah bisa memberikan hadiah pada anak. Tidak perlu khawatir anaknya nanti menjadi manja atau tidak mandiri. Setiap masa pertumbuhan, ada tugas perkembangan. Orang belajar itu semua ada waktunya.
Usia selanjutnya ketika anak dengan kemampuannya sendiri sudah mulai mengeksplor lingkungan, itulah masa anak belajar “autonomy” atau kemandirian. Benda-benda di lingkungan dilihat anak sebagai sesuatu yang menarik untuk didekati, dipegang, dirasakan, dan diperlakukan apa saja. Pada saat yang demikian, anak ingin dengan mandiri bisa belajar dari lingkungan. Anak butuh dukungan dari orangtua dengan memberikan kepercayaan pada anak. Karena itulah, pada tahapan sebelumnya penting untuk membangun “trust” dalam diri anak. Kemampuan anak menjadi berkembang dengan dukungan yang diberikan orangtua melalui pemberian kesempatan anak untuk melakukan dengan sendiri. Masa-masa autonomy menjadi masa yang penting terbangunnya kepercayaan diri anak. Ketika anak memiliki rasa ingin tahu lalu diberi kepercayaan dan dukungan oleh orangtua, kemudian anak mencoba dan berhasil, maka terbangunlah kepercayaan diri anak.
Kepercayaan diri menjadi hal yang penting bagi anak untuk tahapan perkembangan pada usia berikutnya. Seiring bertambahnya usia, semakin luas lingkungan interaksi anak. Awalnya orangtua dan saudara lalu teman sebaya, teman sekolah, masyarakat dst. Modal kepercayaan diri akan menentukan perfomansinya saat nantinya berinteraksi dengan lingkungan yang lebih luas. Keyakinan diri bahwa dirinya memiliki kemampuan, mendapat dukungan, dan ada kesempatan luas untuk melakukan sendiri. Saat-saat anak belajar memiliki dan membuat keputusan dengan tetap adanya dukungan dari orangtua.  Begitu menyenangkan menjadi orangtua.  ^_^


(Ayahnya Syira)

0 komentar:

Post a Comment