Monday, May 9, 2011

Meluaskan Ruang “APA JADINYA”*


“Berpikirlah APA JADINYA bukan APA ADANYA”, begitu ungkapan bijak guru saya. Jika “apa adanya” lebih mengarahkan pikiran pada realitas, “apa jadinya” mengajak kita pada ruang kemungkinan.
Tidak sedikit realitas yang tidak sesuai dengan harapan bukan? Pengalaman-pengalaman di masa lalu yang tidak menyenangkan, situasi-situasi yang diluar kontrol, dan kenyataan bawaan yang seolah menjadi ruang jebakan. Penjara pengap, sepi, gelap yang seolah membatasi gerak untuk berkembang bahkan menjadikan takut walaupun sekedar berkhayal. Dimungkinkan keadaan yang demikian lama-kelamaan membawa seseorang pada ‘kematian potensi’ mengenaskan, itulah berpikir “apa adanya”.

Pahamilah bahwa di luar penjara sana; ada padang rumput hijau yang luas dengan berbagai hewan alaminya, ada pula pantai dengan pemadangan laut lepas dan sejuknya semilir angin, ada lampu-lampu kota gemerlap yang bersemangat, di daerah gunung nampaklah hijau hutan dan mata airnya yang jernih menyegarkan. Beragam pilihan yang membuat hati nyaman, tenang, penuh kebahagiaan, dan optimisme dalam memandang kehidupan. Itulah ruang “apa jadinya”. Ruang kebebasan berkreasi dan berlimpah kesempatan juga kemungkinan.
Selama 3,5 tahun lebih, saya belajar memahami ruang “apa jadinya” di Beastudi Etos Semarang. Bahasa tugasnya “pendamping” yang memiliki tugas mengatur pelaksanaaan berbagai program pengembangan diri untuk para mahasiswa yang memiliki potensi diri luar biasa tetapi terkendala realitas finansial keluarga. Bahasa kerennya “coach” yang memastikan mereka tertransformasi dari pribadi biasa menjadi luar biasa, melejit dari kondisi sulit, MASTER from minder. Seseorang yang masih perlu banyak belajar ilmu psikologi tetapi takdir ‘mengharuskan’ untuk belajar langsung layaknya seorang HRD profesional. “Ini adalah kesempatan pembelajaran sebelum nantinya saya benar-benar menjadi seorang HRD yang membawahi ratusan, ribuan, bahkan ratusan ribu karyawan”, begitulah saya belajar ruang kemungkinan. “Daripada termangu menunggu sampai nanti benar-benar jago psikologi baru berkarya, sejak awal memulainya akan menjadi modal yang berguna”, demikian pembelajaran memandang “apa jadinya”.

Dalam dunia training pastilah kita familiar dengan simulasi dimana peserta ditunjukkan kerta putih dengan titik hitam di tengahnya. Peserta ditunjukkan kertas tersebut dan diminta menyampaikan apa yang dilihatnya. Beragam jawaban tetapi selama ini, saya lebih banyak mendapati para peserta mengungkapkan bahwa mereka melihat titik hitam. Sebagian kecil dari mereka melihat kertas putih yang ‘kebetulan’ ada titik hitamnya.
Simulasi kertas dengan titik hitam di tengah serupa dengan gelas yang diisi setengah air. Ada yang mengatakan gelasnya kosong setengah dan ada pula yang mengatakan setengahnya terisi. Metafora seragam yang ingin mengungkapkan bagaimana seseorang memandang realitas potensi dalam diri, pengalaman, dan berbagai dimensi kehidupan.

Dalam keseharian, secara tidak sadar banyak orang lebih sering menyoroti sisi kekurangan, pengalaman tidak menyenangkan, dan perhatian pada hal-hal negatif lainnya. Padahal kita tahu bersama bahwa masih banyak realitas lain yang diterima berupa kebahagiaan, kemudahan, kelimpahan, dan banyak hal yang perlu disyukuri. “Nikmat manalagi yang engkau dustakan?” begitu sindir Tuhan dalam Surat Ar Rahman berulang kali. Dengan kata lain, banyak orang yang berfokus pada “apa adanya” bukan “apa jadinya”.
Sebagai seorang trainer, penulis, motivator yang kadang menjadi tempat konsultasi atau sekedar sharing sebuah tantangan tersendiri bagi saya untuk tetap fokus pada “apa jadinya”. Datang orang bercerita tentang keinginan, harapan, dan impian-impiannya, dia bercerita juga tentang keadaannya yang seakan menjadi penghalang. Secara logika memang sepertinya jauh dari realitas bahwa dia akan bisa mencapai impian. “Jangan mimpi tinggi-tinggi nanti kalau jatuh sakit rasanya?” begitu seperti yang diungkapkan orang-orang di luar sana. Entah apakah itu nasehat bijak atau sebenarnya berangkat dari pengalaman tidak baik yang dialaminya dan secara tidak sadar dia membawa orang lain untuk berempati pada dirinya. Rasa sepi jika sakit sendiri, rasa kurang bahagia jika orang lain meraih cita dan cintanya. Apapun itu sebagaimana pesan Mario Teguh, “Tugas kita bukanlah untuk berhasil, tugas kita adalah untuk mencoba, karena didalam mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil”. Begitu juga yang saya pahami, tugas seorang yang terjun dalam pengembangan SDM adalah membuka dan meluaskan ruang kemungkinan, “apa jadinya” bagi banyak orang.

Kita akan menemukan dan belajar membangun kesempatan, itulah ruang “apa jadinya”. Persis sebagaimana dinasehatkan Pak Eri Sudewo, pendiri Domper Dhuafa kepada saya saat pertemuan nasional management Beastudi Etos di Jogja yaitu tugas kita adalah bekerja. Beliau seraya mengutip pesan dari Al Qur’an surat At-Taubah ayat 105, “Bekerjalah kamu, maka Allah dan RasulNya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu … “ Tugas kita adalah membangun dan meluaskan ruang “apa jadinya” begitu juga ketika melihat orang. Dipahamilah alasan mengapa dalam Islam, kita dilarang dengan mudahnya mengkafirkan seseorang. Realitasnya detik itu bisa saja tidak beragama tetapi di kemudian hari bisa saja dia lebih taat dari mereka yang telah lama beragama. Masih ada ruang “apa jadinya” yaitu hidayah Tuhan. Andai dosa seseorang seisi langit dan bumi, Tuhan mengatakan bahwa ampunannya lebih luas dibanding itu.
*) Mari meluaskan ruang “apa jadinya” daripada terpaku pada ruang ‘apa adanya”. "Sebelum kebahagiaan benar-benar datang, tugas kita adalah menyediakan ruang untuk kebahagiaan tersebut", (Pariman Siregar, Penulis Buku MASTER from minder). Selamat meluaskan ruang bahagia dalam hati anda! Selamat menyambut kebahagiaan! Selamat berkelimpahan! Tebarkan kebahagiaan pada banyak orang!

1 comment:

  1. kalau kata saya motivasi itu datangnya dari cita2 yang tinggi dan kekuatan untuk pantang menyerah

    ReplyDelete