Tuesday, November 17, 2009

Mengukir Mimpi di Gunung Fuji


(Persahabatan dan Impian)
“Akhi, masih ingat impian kita?” tanya seorang sahabat seperjuangan yang lama tidak bertemu. Sontak pikiran saya melayang saat masa-masa semester awal kuliah. ”Jangan-jangan sudah lupa, ini. Impian bersama angkatan kita, 2004?” sahut dia merangseng, tidak sabaran.
Entah kenapa pagi itu, ingin rasanya saya menelpon sahabat-sahabat dekat, Etoser Semarang. Tiga tahun mendapatkan uang saku dan pengembangan diri setiap pekannya. Tidak terasa hampir tiga tahun pula tidak bertatap muka. Kangen akan saat kebersamaan walaupun dulu sempat ada juga ego-egoan tetapi sekarang sudah berubah menjadi kenangan. Ego-egoan itu sudah menjadi garam yang menjadikan masa-masa itu kenangan yang indah untuk diceritakan.
”Saya masih ingat, dong. Janjian nge-teh kita, kan?” sahut saya sambil menunggu yang dimaksudkannya. ”Nge-teh? Kita kan pernah berkomitmen bersama bahwa kita akan bereuni di Jepang tahun 2015,” dia menjelaskan dengan sedikit mengembalikan ingatan saya. ”Iya, maksud saya, kita akan bereuni, nge-teh bersama sambil menikmati indahnya Gunung Fuji,” akhirnya tergambar jelas di kepala saya impian yang dimaksudkan.
Kami bertuju belas -- adi, nuri, dhani, dewi, fura, imron, iin, lukman, krisna, alfin, fiah, siti, umay, manto, trimo, widya, dan saya sendiri—bisa dikatakan sebagai orang-orang yang memiliki semangat melampaui keadaan kami waktu itu. Bagi kami, semangat adalah segala-galanya karena tanpa itu, kami mungkin tidak akan bisa seperti sekarang. Harapan itulah nyawa yang kami miliki, yang menjadi energi untuk menjalani hidup dan mengisinya dengan prestasi. Lihat saja mereka yang tidak memiliki harapan. Mereka memilih untuk mengakhiri kehidupan, ada yang putus harapan lalu bunuh diri pula.
”Saya suatu saat nanti akan pergi ke Jerman, ke luar negeri.” Impian itu masih tersimpan dalam buku kecil saya. Impian mestilah disampaikan pada orang lain, setidaknya akan memberikan inspirasi lebih-lebih do’a. Tuhan punya caranya sendiri untuk menghantarkan seorang hamba menuju maqomnya (impian). Tidak disangka, tidak dinyana, Nuri yang ternyata lebih dulu berangkat ke Jerman. Beberapa bulan dia berada di sana, luar biasa.
Nuri hanyalah seorang gadis yang mungkin orangtuanya saja tidak membayangkan anaknya akan pergi ke Jerman. ”Jerman itu mana juga tidak tahu.” Apa boleh buat, mau membekali anaknya harta, keseharian saja hidup sederhana. Ilmu yang tinggi, orangtua bukan lulusan perguruan tinggi. Walaupun hanya bisa mendo’akan dan memberi ridho, ternyata justru itu yang menjadi pembukan jalan. Jerman sudah dijelajahi, sekarang juga sudah bekerja di Dinas Kesehatan Pusat, Jakarta.
Lain dengan Nuri yang menyambangi Jerman, giliran Fiah yang menyusul ke Thailand. Bendera Etoser (panggilan bagi kami) sudah tertancapkan di Jerman dan Negeri Gajah Putih. Semangat-semangat pun semakin berkobar kembali. Iri, terus terang tetapi bukan pada orangnya, iri pada prestasinya. Boleh kayaknya,ya? Lupa haditsnya. Banyak jika disebutin satu-persatu prestasi masing-masing. Jika standarnya ke Luar Negeri baru dua, Nuri dan Fi’ah. ”Giliran saya yang nyusul. Minta do’anya,ya.” :-)
”Sebelum lulus mesti nulis buku,” semangat orang yang akan menyusul ke luar negeri (saya sendiri). Alhamdulillah, Allah memberikan jalan. Tanggal 18 Juli 2009, tepat seminggu setelah hari ulang tahun (walaupun saya sendiri tidak merayakan ulang tahun) dikabari dari penerbit jika naskah saya diterima. Tuhan senantiasa membuktikan Kemahabesarannya.
Bakal menjadi novel sepertinya perjalanan ketujuhbelas etoser tadi. Menikmati teh asli Jepang sambil menikmati putihnya salju yang nampak dari kejauhan. Dinginnya pagi terhangatkan oleh keceriaan anak-anak kami yang berlarian ke sana kemarin. Tiada beban, yang ada hanya kebahagiaan. Bergantian menceritakan perjalanan hidup selama ini, mengenang kembali kekonyolan saat pembinaan. Lucu sepertinya, bakal jadi bahan cerita yang dulunya telatan, suka ijin. Barangkali telatan sepintas dari luar tetapi soal impian dia yang melejit duluan. Dulu sih malu-malu tetapi saat reuni sudah memiliki perusahaan, rumah sakit, rumah terapi sendiri. Mari kita saling menjaga nyala mimpi itu sampai waktunya tiba.

-->
Ditulis di pagi yang penuh inspirasi
dengan sepenuh hati
ditemani musik relaksasi

-->
Pariman Siregar



0 komentar:

Post a Comment