Wednesday, November 25, 2009

Bacaan dan Kepribadian

(Dongeng dan Kemajuan Bangsa)
Dongeng sebelum tidur menjadi salah satu faktor penentu kemajuan suatu bangsa,” demikian kira-kira inti dari penelitian David McClelland. Dari tahun 1925-1950, dia mengumpulkan dongeng dan cerita anak mencapai 1300 . Dia kemudian menghubungkan nial-nilai yang disampaikan dalam dongeng dengan tingkat kemajuan ekonomi. Kesimpulannya, cerita-cerita yang mengandung pesan kebutuhan berprestasi (Need of Achievement) berkorelasi positif dengan kemajuan suatu bangsa.
Dalam kesempatan yang lain, McClelland juga membandingkan fenomena kemajuan yang berbeda antara Inggris dan Spanyol. Jika diamati, Inggris lebih maju dibanding Spanyol termasuk pula negara bekas jajahan Inggris. McClelland menemukan bahwa karya-karya sastra yang berkembang di Inggris ketika itu (abad 16) bernuansa kepahlawanan (Need of Achievement) sedangkan Spanyol bernuansa melankolis dan meninabobokkan rakyat.
Saya jadi ingat cerita guru ngaji saya saat menemukan hasil studi David McClelland tersebut. Beliau pernah bertutur kepada kami, para muridnya bahwa suatu kali musuh ingin melakukan penyerbuan terhadap pemerintahan Islam. Disebarlah mata-mata oleh raja guna mengetahui sudah saatnyakah pemerintahan Islam ketika itu diserbu. Sepele indikasinya, yaitu dari obrolan keseharian dan aktifitas para pemudanya.
Pada periode pertama, mata-mata yang disebarkan menemukan seorang anak yang sedang menangis. Si mata-mata merasa heran kemudian ditanyalah anak tersebut, ”Mengapa menangis?” Sambil memegang busur panahnya, anak tersebut menjawab, ”Biasanya saya anak panah saya mengenai dua sasaran, kali ini hanya kena satu sasaran.” Rupanya anak tersebut sedang berlatih memanah. Dia menangis karena merasa kecewa. Biasanya anak panahnya selalu tepat sasaran tetapi saat itu, ada satu anak panah yang meleset dari sasaran. ”Sepertinya, belum waktunya Islam diserbu,” gumam si mata-mata dalam hati.
Bagaimana dengan para pemudanya? Ketika bertemu, para pemuda saling menanyakan jumlah bacaan Al Qur’an dan Sholat malam mereka satu sama lain. ”Saya harus melaporkan kepada raja bahwa Islam masih kuat,” kesimpulan si mata-mata setelah menemukan fakta anak kecil dan perilaku para pemuda. Mata-mata musuh tersebut menganggap bahwa belum saatnya Islam diserang. Bagaimana tidak, seorang anak kecil saja merasa kecewa hanya karena anak panahnya sekali itu tidak mengenai sasaran. Apalagi para pemudanya yang memiliki keyakinan kuat. ”Nilai-nilai kepahlawanan dan keteguhan memegang prinsip agama masih kuat, sia-sia saja jika diserbu sekarang,” begitu kira-kira.
Beberapa periode selanjutnya, dikirim kembali mata-mata untuk mengatahui perkembangan situasi. Sungguh berbeda dengan periode mata-mata pertama. Para pemuda yang ditemui tidak lagi membicarakan tentang jumlah bacaan Al Qur’an termasuk sholat malam. Mereka membicarakan tentang kecantikan para gadis, merdunya suara para biduan, dan aktifitas bersifat duniawi hedonisme. Tanpa pikir panjang si mata-mata melapor pada rajanya. ”Sekarang sudah saatnya penyerbuan dilakukan,” lapor si mata-mata dengan optimisme tinggi mengalahkan kerajaan Islam waktu itu.
Kisah tentang mata-mata tersebut mengingatkan saya akan perjuangan rakyat Aceh. Saya merasa tertarik dengan kegigihan pejuang-pejuang Aceh. Betapa tidak, luarbiasa perjuangan mereka. Laki-lakinya membuat Belanda kocar-kacir, pejuang wanitanya membuat Belanda tidak berdaya. Belanda sepertinya juga sudah putus asa, waktu dan sumber daya habis hanya untuk menaklukkan daerah ’sempit.’ Sampai kemudian pendekatan kultural dilakukan.
Snock Hungronje memata-matai kehidupan penduduk Aceh. ”Jika perjuangan wilayah lain terhenti saat pemimpinnya ditangkap kenapa Aceh tidak?” pertanyaan kunci untuk meanklukkan Aceh. Dia menemukan hubungan kuat antara pemimpin dan ulama yang menjadikan perjuangan Aceh begitu kuat. Mulailah kemudian dia menggunakan politik adu-domba pemimpin dan ulama menggunakan topengnya sebagai ulama.
Secara kultural, Aceh memiliki kebiasaan yang unik dalam mendidik anak mereka. Sempat suatu kali, saya pernah berdiskusi dengan seorang teman dari Aceh. Dia menyampaikan betapa kental kisah-kisah kepahlwanan ditanamkan sejak dari kecil. Sembari mengayuh ayunan, seorang ibu bersholawatan. Seorang ayah menimang-nimang anaknya, meninabobokkan putra-putri tercinta sembari bertutur tentang kepahlawanan dan budi pekerti. Entah apakah kebiasaan seperti itu sekarang ini atau tidak, setidaknya kita memahami cerita dan dongeng-dongeng berpengaruh terhadap mentalitas dan kepribadian.
Kajian-kajian lebih dalam tentang kebudayaan dan kepribadian sebenarnya menjadi bagian dari anthropologi-psikologi. Kajian-kajian anthropologi-psikologi berkembang semenjak bangsa barat melakukan pelayaran mencari dunia baru. Bisa dikatakan awal kemunculan kajian-kajiannya bersifat pragmatis. Artinya, kajian-kajian tentang kebudayaan dan kepribadian suatu suku bangsa bertujuan sebagai jalan mencapai tujuan (imperialisme dan kolonialisme).
Setelah memahami berbagai hal tentang cerita, kepribadian, dan kemajuan bangsa maka mari kita menengok berbagai cerita yang dikonsumsi masyarakat Indonesia ini. Apa saja yang ditampilkan sinetron TV, infotainment, berbagai pemberitaan di media? Belum lagi kemajuan teknologi internet dan ponsel yang menyediakan akses 24 jam berbagai hal. Pertanyaanya;
1. Apakah nilai-nilai yang disampaikan lebih ke arah positif atau negatif?
2. Apakah dampaknya dalam kehidupan anda secara personal juga kehidupan komunal?
Mungkin saja ada yang menganggap uraian di atas hanyalah hal sepele dan tidak perlu dipermasalahkan. Saya menghormatinya dan tidak saya anggap sebagai ketidakpedulian akan fenomena sekitar. Mungkin saja memang perlu perspektif tambahan. Tulisan selanjutnya akan saya kupas tentang pengaruh cerita-cerita di masyarakat dengan kehidupan personal termasuk karir. Tinjauan anthropologi-psikologi, psikologi klinis, psikologi kepribadian, psikoterapi dst.
Mungkin saja ada yang berpegang kukuh prinsip, ”Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian; bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian.” Kerja ketidaksadaran kolektif menjadi ketidaksadaran personal berujung pada prasangka negatif terhadap Tuhan. (Bersambung ....)

Diambil dari berbagai sumber, semoga bermanfaat.
Spiritual Inspirator: Pariman Siregar



1 comment:

  1. good article...

    saya pernah mendengar kisah kronologi Islam tertaklukkan krn sifat hedonism para pemeluknya itu, ketika mentoring sewaktu SMA dulu. Dan skrng stlh saya mbaca artikel d atas sy teringat lagi bahaya penyakit WAHN yg menimpa tubuh umat ini.

    ok, syukron.

    ReplyDelete