Saturday, May 27, 2017
Sunday, April 30, 2017
Outbound dan Pelatihan di Kebun Teh Pagilaran
Hampir
setiap instansi memiliki security. Security
menempati posisi penting yang bertanggung jawab terkait keamanan. Tanggung jawab
tersebut mengharuskan pribadi yang kuat dan tegas. Di sisi lain, pada instansi
tertentu security “memiliki” peran
layaknya front liner yang
mengharuskannya bersikap ramah dan banyak senyum. Utamanya pada instansi yang
bergerak dalam pelayanan publik. “Kesan terhadap
security seolah saat pelatihan lebih banyak diajarkan tentang ketegasan (‘keras’)
tetapi saya di sini ternyata ditugasi untuk melayani yang mengharuskan banyak
senyum dan ramah”, demikian salah satu kesan dari seorang security di suatu instansi.
Tepatnya, 8
Oktober 2016 lalu saya kebagian untuk menyampaikan materi pada security Universitas Pekalongan.
Tempatnya di kebun teh Pagilaran. Pagilaran merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Batang. Perjalanan sekitar 45 menit dari pusat kota kea rah selatan.
Banyak orang memilih untuk ke Pagilaran guna menikmati udara segar dan hamparan
hijau kebun teh di sana. Perkebunan teh yang sudah ada sejak zaman penjajahan kolonial
Belanda. Pohon tehnya ada yang sudah berumur seratus tahun lebih.
Pagilaran
menawarkan kesejukan dan kesegaran udara, sangat cocok untuk refreshing. Ada banyak penginapan dan
rumah yang bisa disewa untuk keluarga. Cukup murah, rumah dengan 3 kamar tidur
lengkap dengan dapur dan kamar mandi hanya kisaran 1 juta sehari semalam. Tersedia
aula untuk acara gathering atau training yang juga bisa disewa.
Pagilaran
bisa jadi salah satu alternatif untuk kegiatan pelatihan atau gathering. Hal tersebut sepertinya yang
menjadikan alasan Alumni Fakultas Hukum Unissula Angkatan 80/81 memilih
Pagilaran sebagai salah satu tempat untuk reunian pada 26 Maret 2017 lalu. “Reunian kali ini seru, paling seru
dibandingkan sebelum-sebelumnya”, itulah salah satu kesan dari peserta. Kemasan
acara yang menarik yang memberikan kesan tak terlupakan merupakan hal penting
dalam acara reuni. Rektor Universitas Pekalongan merupakan ketua dari acara
reuni tersebut dan berperan besar dalam kesuksesan acara.
Salah satu
sesi acara yang menarik adalah outbound. Rangkaian permainan yang menjadikan
semuanya bisa terlibat, aktif, dan tentunya ada nilai edukatif di dalamnya. Pilihan
tempat permainan bisa di luar atau area terbuka sembari menikmati pemandangan
sekitar dan udara yang segar. Bisa juga tempat permainan di dalam ruangan
terkhusus ketika cuaca sedang hujan sehingga tidak memungkinkan diadakan di
luar. Tentunya jenis permainan akan disesuaikan sehingga tetap mengena di hati
peserta. Itulah yang kami usahakan, saya bersama rekan, seorang psikolog
pendidikan Aji Cokro D. M.Psi, Psikolog. Pada akhirnya, sebagai diberi
kepercayaan fasilitator belajar banyak hal dan harus siap membuat keputusan
yang sigap di lapangan. (Pariman, M.Psi, Psikolog)
Saturday, April 29, 2017
Smart Parenting di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Parenting atau
pengasuhan merupakan tugas bersama antara ayah dan ibu. Parent(ing) – Orangtua (ayah dan ibu), bukan fathering (ayah saja) atau mothering
(ibu saja). Namun demikian, konstruksi budaya dalam kehidupan bermasyarakat
seolah memberikan tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak lebih banyak pada
para ibu. Ayah seolah (boleh) lepas tangan karena fokus dalam mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan materi bagi keluarga. Padahal, materi hanya bagian
kecil dari tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Banyak
penelitian yang membuktikan bahwa ayah memiliki peran besar bagi perkembangan
anak, baik aspek kognitif, afektif, motorik, dan sosial. Ada peran-peran
tertentu yang tidak bisa digantikan dan bersifat melengkapi antara ayah dengan
ibu. Peran penting pengasuhan bagi perkembangan anak utamanya pada awal masa
anak-anak. Ada usia-usia yang disebut golden
age, yaitu usia 6 tahun pertama. Pada usia tersebut, perkembangan otak
(memori) berlangsung sangat cepat sehingga stimulasi yang tepat akan bermanfaat
besar bagi perkembangan anak. Kenyataannya, tidak banyak orangtua tahu hal
tersebut dan memahami apa yang seharusnya dilakukan, lebih-lebih “ibu-ibu muda” atau “ayah-ayah muda”. (Sampai saya membuat halaman "Psikologi Menjawab")
Orangtua
dengan anak pertama umumnya belum lama dalam membangun rumah tangga. Kondisi
ekonomi belum stabil, pekerjaan belum mapan, rumah ada yang masih ngontrak atau
ikut orangtua, dan situasi penyesuaian lainnya. Keadaan tersebut bagi sebagian
orang tentulah menyita sebagian besar waktu sehingga perhatian pada anak
kurang. Bahkan, ada situasi pekerjaan yang membuat para ayah seolah tidak punya
pilihan waktu untuk banyak berinteraksi dengan anak karena tempat kerja yang
jauh. Tentunya tidak ada cara lain kecuali mengoptimalkan waktu yang ada ketika
bersama keluarga secara kualitas. Quality
time selain terus berusaha menambah quantity
time.
Masa-masa
6 tahun pertama adalah masa-masa dalam menanamkan kesan pada anak. Bagaimana
kesan anak terhadap ayah dan ibunya, rekaman kuatnya ada pada 6 tahun pertama. Pada
usia 6 bulan, ada sudah memiliki rekaman kuat tentang wajah orang-orang
terdekatnya. Rekaman tersebut menjadi frame
kedekatan hubungan. Olehkarena itu, sungguh disayangkan jika anak lebih
banyak memiliki rekaman ingatan orang lain dibandingkan dengan orangtuanya
sendiri. Ingatan tersebut terus berkembang dan anak mulai mengidentifikasi mana
orang dekatnya dan mana orang yang asing bagi dirinya. Usia 9 bulan, anak sudah
memahami hal tersebut sehingga jika ada orang asing, dia bisa saja menangis
karena beranggapan orang asing itu mengancam (menakutkan).
Lagi-lagi
waktu-waktu berharga dengan anak itu justru pada awal masa perkembangannya. Waktu
yang demikian itu berjalan sangat cepat terutama jika sibuk bekerja, anak beranjak
besar dan lingkaran interaksi anak sudah harus meluas, yaitu banyak
berinteraksi dengan teman sebaya juga guru mereka di sekolah. Bagaimana anak
menghadapi lingkaran interaksi itu ditentukan oleh pengalaman interakasi
bersama orang-orang dekatnya. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan yang baik
antara ayah dan anak menjadi dasar baginya dalam membangun hubungan pada masa
perkembangan selanjutnya. Remaja-remaja yang bermasalah ketika dirunut akar
penyebabnya karena permasalahan dalam keluarga berupa tidak harmonisnya
hubungan ayah dan anak. Sungguh saat berharga untuk anak itu jangan sampai
berlalu begitu saja. Saya menyebut jadi orangtua itu haruslah memiliki bekal smart parenting. Itulah tema materi yang
saya bawakan untuk kajian parenting di Samben
Library, Bantul (24 April 2017).
“Smart” yang
diterjemahkan sebagai cerdas. Orang yang smart/cerdas adalah orang yang selalu
bisa beradaptasi dengan lingkungan (Colvin, Ahli Psikologi). Orang yang paling
smart/cerdas adalah orang yang 1) banyak mengingat kematian dan 2) paling bagus
persiapannya menghadapi kematian (Rasulullah SAW). “Parenting” yang biasa dikenal dengan pengasuhan merupakan segala
aktifitas (orangtua) yang memiliki tujuan agar anak berkembang secara optimal
dan bisa menjalani kehidupan dengan baik (Hoghughi, 2004). Jadi parenting yang smart itu sebagaimana tidak hanya berorientasi dunia tetapi juga
akhirat; bukan hanya perkembangan potensi anak tetapi juga keterampilan anak
dalam menghadapi kehidupan (life skills)
dan akhlaq anak; serta berorientasi pada kebutuhan anak di masa depan. “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan
zamannya, karena zamanmu dengan zamannya tidaklah sama”, demikian pesan
sahabat Ali bin Abi Thalib.
Sebagai
orangtua yang smart tentunya harus
memiliki bekal berupa pengetahuan dan keterampilan dalam ilmu pengasuhan dan
ilmu agama. Ada banyak pengajaran yang bisa diambil dalam Al Qur’an dan Hadist
yang bisa menginspirasi dalam mendidik anak. Untuk menguatkan itu, ada banyak
penelitian dalam ilmu psikologi terutama tema pengasuhan yang bisa menjadi ilmu
dalam mendidik anak. Pada akhirnya, orangtua dengan smart parenting menyadari bahwa menjadi orangtua adalah terus
senantiasa belajar. (Pariman, M.Psi,
Psikolog)
Subscribe to:
Posts (Atom)