“Guru: ‘digugu lan ditiru’
(dipatuhi dan diteladani”. Ungkapan yang ‘keroto boso’ tersebut
menggambarkan bahwa seorang guru sudah selayaknya menjadi sumber keteladanan.
Dengan kata lain, seorang guru dituntut tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan
tetapi juga memiliki karakter yang mulia. Keteladanan dalam penguasaan ilmu pengetahuan
dan karakter sudah selayaknya disandang sebagai seorang pendidik. Hal tersebut
selaras dengan UU No. 20 Tentang Sisdiknas bahwa
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara. Jelas peranan besar seorang guru dalam
pembanguna SDM bagi bangsa dan secara khusus bagi masa depan anak didik.
Tepatnya Sabtu, 12 Desember 2015 saya didaulat berbagi inspirasi
untuk para calon guru di kampus PGSD Unnes yang berlokasi di Kota Tegal. Tema
besar yang diusung adalah bahwa guru tidak harus PNS. Sebuah tema yang memberikan
pencerahan bahwa status pekerjaan (negeri atau swasta) bukanlah penghalang bagi
seorang guru untuk mengabdikan ilmunya. Untuk berbagi inspirasi kepada banyak
orang, seorang guru tidak perlu harus terbatasi dengan ruangan kelas dan jumlah
siswa.
Norma Pujiastuti, pembicara pertama sebelum saya yang merupakan alumni
PGSD Unnes menuturkan pengalamannya selama mengikuti program SM-3T. Sebuah Program Pengabdian
Sarjana Pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan
di daerah 3T (tedepan, terpencil, terluar) selama satu tahun yang kemudian
dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru. Tentulah mengajar di
daerah 3T sangat jauh dari ideal. Selain terbatasnya saran dan prasarana,
seorang guru juga dituntut untuk bisa survival. Namun, hal tersebut tidak harus
dipandang sebagai masalah oleh seorang Norma dan para guru lainnya tetapi
justru dipandang sebagai challenge yang mengaktifkan seluruh potensi
diri dan kreatifitas. Situasi yang sulit, dia jadikan momentum untuk
melejit.
Pada sesi berikutnya, giliran saya berbagi inspirasi dengan tagline “Guru
inspiratif: Sukses dan Menyukseskan”. Menjadi seorang guru adalah peran mulia
yang diberikan Allah SWT. Saya sendiri sejak kecil didorong untuk memiliki
cita-cita menjadi seorang guru. Lahir di keluarga dengan pendidikan tidak
memadai karena keterbatasan ekonomi. Walaupun ibu saya cukup pandai ketika
sekolah dasar tetapi tidak melanjutkan ke jenjang SMP. Lebih-lebih lagi ayah
saya, tidak pernah sama sekali mengenyam pendidikan, SD sekalipun. Andalannya ketika
diminta tanda tangan adalah mengajukan jempolnya (cap jempol). Salutnya untuk
kedua orangtua saya adalah senantiasa menanamkan keberania untuk bermimpi.
Impian jadi guru masih melekat dalam ingatan saya. Seiring bertambahnya
usia dan pengalaman, makna tentang “guru” terus berkembang. Dulu yang terbayang
saat sekolah SD adalah guru SD, lalu saat sekolah SMP adalah guru SMP, saat sekolah SMA adalah guru
SMA, saat kuliah pun berganti bahwa guru itu sama juga dengan dosen. Ketika selama
ini saya menulis buku, mengisi acara motivasi di radio, diundang untuk membahas
tema pengembangan diri di TV, menulis pendapat di Koran juga website pribadi
serta menghadiri undangan sekolah, kampus, karangtarunan dst untuk berbagi
inspirasi. Pemahaman saya tentang guru berkembang menjadi “orang yang
senantiasa berbagi inspirasi”. Menjadi seorang guru itu memang menyenangkan.
Salah satu kebahagiaan seorang ‘guru’ adalah mendapati dirinya berhasil
dan tambah bahagia lagi ketika mendapati muridnya berhasil. Bagi saya pribadi, saya
bisa merasakan bahagianya mendapati adik-adik yang dulu saya dampingi Beastudi
Etos sudah menjadi orang yang sukses. Jafar Arifin, alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat penerima Beastudi Etos salah satunya. Impian untuk kuliah dan pergi ke luar negeri sudah tercapai dan kini meniti karir di sebuah perusaan terkenal di Indonesia. Sebuah doa mengalir, semoga segala
ikhtiar yang dulu saya lakukan bisa menjadi amal baik bagi saya. Di sinilah,
landasan dasar menjadi seorang guru adalah keikhlasan. Persis sebagaimana pesan
dari seorang peserta “achievement motivation training”.
Di bagian akhir tulisan ini, saya sampaikan terima kasih banyak pada
panitia atas kesempatan yang dipercayakan untuk berbagi inspirasi. Sharing
is caring. Salam bahagia, berkah, berkelimpahan. (Pariman, S.Psi)
0 komentar:
Post a Comment