Tidak selamanya orangtua mengajari anak. Sebenarnya,
dalam banyak kesempatan, orang tua belajar pada anak. Hal itu yang kami alami.
Anak-anak itu memiliki semangat yang luar biasa. Saat putri
kami sudah mulai berusia tiga bulan, kami lihat dia sudah berusaha untuk
mengangkat-ngangkat perutnya. Beberapa hari sebelum usianya menginjak empat
bulan, putri kami sudah bisa tengkurap. Usaha sungguh-sungguh yang dia lakukan,
itulah pelajari luar biasa bagi kami.
Kami akui bahwa kami masih kalah semangat dibanding
putri kami. Bagaimana tidak, dalam proses penuntasan tesis, ada kalanya kami
hibernasi untuk sementara waktu. Entah karena ide yang belum muncul, refrensi
yang belum ditemukan maupun hal lain yang membuat kami selalu saja memiliki
alasan untuk tidak menyentuh laptop. Tapi putri kami tidaklah demikian, tidak
ada kata lelah, turun semangat apalagi putus asa. Bangun tidur, dia langsung
menyiapkan dirinya untuk tengkurap dan berlatih merangkak. Dia hanya butuh
rileks ketika sudah terlalu lama mencoba tetapi belum juga berhasil. Kami
mengira-ngira saja kalau dia “capek” ketika suaranya sudah terdengar mau
menangis lalu kami menggendongnya. Sampai akhirnya, dia memiliki cara sendiri
ketika sekian waktu mencoba tetapi belum berhasil. Dia meletakkan kepalanya
sejenak di tempatnya tengkurap, mengulurkan tangannya, dan meluruskan kakinya. Terkadang
juga memasukkan jarinya ke mulut dan terdengar suara dia menghisap jarinya.
Bahkan terkadang, saking semangatnya menghisap jari, terdengar suaranya keras.
Kami sempat mencemaskan kalau-kalau perilaku menghisap
jarinya akan keterusan sampai anak-anak. Kami akui, itu hanyalah kecemasan kami
karena tidak mengetahui maksud dari apa yang dia lakukan. Sampai akhirnya, kami
paham bahwa menghisap jari adalah usahanya untuk menenangkan diri dan
menghimpun energi. Kami berusaha menetralisir kecemasan yang kami rasakan dan
mengubahnya menjadi energi positif. Dan ternyata, menghisap ataupun menggigit
jari yang dilakukannya adalah bagian dari mengaktifkan syarat-syarat kendali di
tangannya. Koordinasi antara pikiran, rasa, emosi, sensori, dan gerak mulai
terkoordinasi dengan baik. Itu adalah tahapan yang orang bilang alami. Bagi
kami, itu tahapan yang luar biasa. Ada mukjizat Allah SWT dalam fase-fase
perkembangan. Tepatlah Allah SWT berfirman agar manusia melihat pada dirinya
sendiri karena dengan itu manusia mengenali kebesaran Allah SWT, kebenaran
adanya Allah SWT, dan mengimaniNya. Walaupun sebenarnya, Allah SWT itu Maha Ada
dan sangat jelas. Bagaimana bisa Yang Maha Ada dan Jelas tidak bisa dikenali
manusia? Itulah Kuasa Allah SWT, Dia mengalingi Dirinya yang Maha ada dengan
sesuatu yang fana.
Memiliki anak dan membersamai setiap fase
perkembangannya menjadi kami belajar banyak hal, bersyukur, dan belajar banyak
hal. Bisa dipahami kalau Abraham Maslow mengubah pandangan-pandangannya tentang
manusia dan mencetuskan psikologi humanis setelah menemukan banyak hal “ajaib”
dari pengalamannya bersama anak. Saya sendiri memahami, menjadi psikolog terbaik
adalah belajar bersama dengan anak-anak. (Pariman Siregar)
0 komentar:
Post a Comment