Bukan yang paling cerdas, tidak yang paling cepat, bukan pula yang mulai duluan yang akan menjadi pemenang tetapi mereka yang tetap bertahan hingga akhir pertarungan. Ya, mereka yang melakukan kemajuan (walaupun sedikit demi sedikit) tetapi menuju arah yang jelas. Berapa banyak orang-orang yang seolah meraih pencapaian yang heroik tetapi tidak tahu apa yang sebenarnya benar-benar diinginkan dalam kehidupan ini.
Melakukan
banyak hal tetapi tidak mengetahui esensi maksud dari apa yang dilakukan hanya
akan menyebabkan kelelahan. Jika lelah secara fisik, paling bisa dipulihkan
dengan istirahat yang cukup, makan enak, dan refreshing. Bagaimana jika lelah yang dirasakan berupa kelelahan
psikologis atau spiritual? Sangat mungkin, biasanya menjadi pribadi produktif
tetapi berubah menjadi tidak produktif (bahkan destruktif) karena kelelahan
psikologis atau spiritual menyerangnya.
Dua puluh tahun yang lalu, saya tahu ada seorang anak kecil yang setiap kali pulang sekolah, dia menyusul ibunya ke ladang. Ayahnya sudah tidak ada, dia tinggal bersama satu adiknya dan ibunya. Namanya orang kampung, tidak banyak pilihan untuk bekerja, paling-paling dalam bidang pertanian. Itu pun tidak mudah, lebih-lebih bagi mereka yang tidak memiliki sawah. Pekerjaan yang mungkin bisa dilakukan adalah buruh tani. Pekerjaan kasar, bekerja di bawah terik matahari dengan menahan haus dan lapar, pas-pasan pula gajinya.
Sebagain besar orang menggarap sawah, sebagian lagi mengerjakan ladang. Di daerah ladang seperti tempat saya yang cenderung kering ketika kemarau, tebu menjadi pilihan yang tepat untuk ditanam. Sekali menanam, bisa lima kali panen dalam waktu lima tahun, hanya dengan pemeliharaan yang standar saja. Pekerjaan dalam pertanian tebu itulah yang dikerjakan oleh ibu dari anak tadi. Sebut saja namanya Jo.
Bayangkan
saja, seorang ibu usia 40 tahun bekerja menembangi tebu, mengikatnya, dan
mengangkutnya ke dalam bak truk. Ya, seorang ibu paruh baya diantara 7
laki-laki yang menjadi kelompok buruh pemanen tebu. Pekerjaan kasar yang tidak
sepantasnya wanita pilih. Namun demikian, apa boleh buat. Di kampung memang
tidak banyak pilihan bekerjaan. Untuk bertahan hidup harus mau bekerja. “Ora obah, ora mamah”.
Jika tidak menggerakkan tangan, bekerja, menanggalkan rasa gengsi maka tidak bisa mendapatkan sesuap nasi sekalipun. Tidak mudah, berat tetapi lebih terhormat baik dihadapan orang lain maupun Tuhan. Selama badan sehat, mampu untuk bekerja, tiada mau untuk dibantu, lebih-lebih meminta bantuan (mengemis) pada orang lain. Lebih terhormat menahan lapar daripada meminta-minta. Lebih baik dibilang miskin karena tidak memiliki harta dibandingkan dikenal sebagai maling yang meresahkan tetangga. Filosofi hidup yang menunjukkan kemuliaan. Hasil dari pembelajaran kehidupan yang tidak didapatkan di bangku sekolah.
Jo
sendiri tumbuh menjadi anak yang berkarakter kuat. Lulus SD, dia tidak
melanjutkan sekolah. Apalah arti sekolah bagi dirinya, buat kehidupan
sehari-haris saja sudah susah. Keras memang demikian adanya kehidupan baginya.
Bagaimana tidak, anak-anak yang lain masih bisa bermain dan bersekolah serta
minta uang saku orangtuanya. Tidak dengan Jo, dia mulai ikut dengan ibunya
memanen tebu miliki juragan tebu di kampung. Menebang tebu dari pagi sampai
hingga sore hari. Memikul puluhan ikat tebu yang setidaknya mencapai 50
kilogram tiap ikatnya. Awalnya dia tidak kuat. Bayangkan, tubuh yang kecil
mengangkut beban lebih berat dibandingkan beban tubuhnya sendiri.
Jika Jo dan ibunya bekerja sedangkan adiknya yang cewek masih sekolah. Sepulang sekolah, si adik langsung ke ladang untuk mengantar bekal makanan. Begitu hari-hari yang dilalui Jo. Tidak banyak pilihan dalam kehidupan yang dilaluinya. Pilihan baginya adalah kehidupan yang berubah menjadi lebih baik. Kerja keras dan terus berusaha adalah caranya. Tidak ada pilihan lain dalam kehidupan Jo kecuali hanya sukses. Entah apa yang orang lain katakana tentang dirinya sekarang tetapi dia memiliki semangat bahwa suatu kali akan menunjukkan pada orang-orang bahwa dirinya berhasil. Kerja keras yang dilaluinya terbayar sudah.
Dua
puluh tahun lebih sudah dilalui Jo dan keluarga. Kini, dia tidak lagi menjadi
buruh tebu yang mengakat-angkat tebu, menaikkan ke dalam truk. Kerja keras yang
dilaluinya meraih kesuksesan, dia menjadi juragan tebu di kampung. Omset yang
didapatkan setiap kali panen bisa mencapai ratusan juta lebih. Dia membeli tebu
dari para petani tebu, mempekerjakan orang-orang kampung, dan menjual
tebu-tebunya ke pabrik gula. Status sosial ekonominya sudah sangat berbeda
dibandingkan yang dulu. Namun demikian, kebersahajaannya masih tetap sama. Teman-teman
dan kenalan yang dulu menjadi buruh diundangnya ke rumah untuk menghadiri pesta
pernikahannya.
Jo tahu bahwa tanpa orang-orang yang dulu mempercayainya, dia bukan apa-apa. Teman memiliki banyak arti bagi kesuksesan yang diraihnya. Hidup mengajarkan bahwa saat tidak banyak pilihan yang bisa dilakukan dalam kehidupan ini, maka sukses adalah pilihan satu-satunya yang bisa diraih. Bukan perkara yang cerdas atau yang memulai duluan tetapi siapa saja yang tetap bertahan terus meningkat sampai akhir yang akan meraih kesuksesan.
Mahasiswa Magister
Profesi Psikolog Klinis, UGM
FB: Inspiring Man
0 komentar:
Post a Comment