“Ambilah cinta dari langit lalu terbarkan dan tumbuh-suburkanlah di bumi hingga berbuah kasih sayang yang manis dan ketentraman bagi seluruh makhluk”
Saya ingin
mengawali tulisan ini dengan ungkapan tersebut. Cinta yang bersumber pada Sang
Maha Pemilik Cinta dan bermuara pula sebagai bagian dari pengabdian di bumi
terhadapNya. Cinta bukan hanya menyatukan dua hati yang saling mencintai tetapi
menyatukan dua keluarga bahkan dua masyarakat dengan latar belakang berbeda. Di
atas cinta terhadap manusia, ada cinta pada Allah SWT dan Rasulullah yang harus
kita tempatkan paling atas dalam meletakkan cinta.
“Cinta” bagi sebagian orang mungkin
dikatakan sebagai kata benda tetapi bagi sebagian yang lain bisa jadi dianggap
sebagai kata kerja. “Cinta” sebagai
kata benda ketika cinta ditempatkan oleh kepala dalam ranah perbincangan. “Cinta” adalah kata kerja saat kita benar-benar
bisa merasakannya. Jika cinta sebagai kata kerja, maka kala cinta mulai terasa
hampa, saat itulah alasan yang tepat untuk kembali mencintai, menumbuhkan cinta
dalam hati.
Dalam bagian
awal, cinta mungkin membutuhkan alasan untuk mencintai. Namun demikian, pada
kesempatan berikutnya, justru cinta yang memberikan banyak alasan bagi bagi
banyak hal dalam kehidupan. Alasan untuk apa? Alasan untuk tetap bertahan kala
muncul rasa bosan, alasan untuk berani kala rasa takut menghampiri, alasan
untuk tetap kuat dan hebat. Cinta adalah energi yang menggerakkan untuk aktif
melakukan kerja-kerja perhatian. Cinta itu menjadikan lebih perhatian dan peka
akan segala hal yang terkait dengan yang dicintainya.
Semua orang
ingin diperhatikan dan cinta memberikan energi untuk bisa memberikan perhatian
lebih bagi yang dicintainya. Apa-apa yang dilakukan dengan cinta lebih indah
dan ringan dirasa. Cinta yang mulia antara dua manusia ada dalam rumah tangga
melalui pernikahan. Janji suci yang Allah SWT sebutkan layaknya janji tauhid
padaNya. “Mitsaqan ghalizhan”,
istilah yang tidak pernah dipakai dalam Al Qur’an kecuali untuk tiga peristiwa.
Satu untuk perjanjian akad nikah dan dua untuk perjanjian tauhid.
Pernikahan
lebih dari sekedar pelegalan cinta, penghalalan berbuat hubungan seksual atau
kontrak antara dua orang yang sama-sama suka untuk hidup bersama. Lain dan
sungguh tidak bisa disama persiskan. Jika kontrak, maka kala sudah tidak suka, masing-masing
bisa mengajukan peninjauan kembali kontrak bahkan pemutusan kontrak. Perceraian
memang halal adanya tetapi Allah SWT benci itu. “Sesuatu yang halal tetapi paling dibenci Allah adalah perceraian”, demikian
Rasulullah SAW bersabda.
Islam
menjadikan cinta antara laki-laki dan perempuan pada kedudukan yang lebih
mulia. Fitrah manusia dalam hatinya ada rasa ingin terhadap lawan jenis dan
merasa bahagia dengan saling memiliki. Ikatan cinta pernikahan dalam Islam, lebih
dari budaya atau kebiasaan yang dikembangkan suatu masyarakat untuk meneruskan
keturunan. Menikah adalah sunah Rasulullah SAW, siapapun yang tidak mengikuti
sunah beliau, bukan termasuk golongan beliau.
Menikah
sebagai sunah bukan sekedar keputusan membinan hubungan dengan lawan jenis
untuk berkeluarga. Jika hanya itu, budaya-budaya dalam masyarakat sudah
melakukannya. Agama-agama lain juga mengajarkannya. Lalu apa yang dimaksud
sunah Rasulullah SAW?
Menikah
dalam Islam adalah bagian dari penerapan ajaran agama, bukan sekedar budaya
atau kecenderungan manusiawi. Karena itulah, Rasulullah SAW mengatakan bahwa
menikah adalah separuh agama. Menikah menjadi bagian dari aspek agama. Oleh
sebab itu, niat menikah adalah untuk ibadah, memilih pendamping hidup
diutamakan karena agamanya yang baik, proses berupa akad nikah mengikuti
syariat, membangun keluarga sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW
termasuk mendidik anak, dan segala yang ada dalam rumah tangga.
Dalam ilmu perilaku,
spiritual atau agama dipandang sebagai satu dari aspek dalam diri manusia.
Aspek-aspek yang lain berupa fisik/bilogis, psikologis/mental, dan sosial.
Orang yang dikatakan sehat ketika keempat dimensi tersebut sehat. Namun
demikian, dalam Islam, aspek agama merupakan inti dalam diri manusia. Orang
yang dikatakan sehat adalah mereka yang sehat secara agama. Karena kehidupan
dipandang sebagai ibadah dan menjalankan amanah dari Allah SWT. Dalam hal ini,
cinta yang dilandasi karena ibadah. Cinta yang melampaui cinta, beyond
the love atau love beyond. Cinta
yang mengatasi segalanya baik berupa fisik, rupa, materi, dan segala yang tampak
lainnya.
“Semoga Allah Mengumpulkan Yang Berserakan
Dari Keduanya, Memberkati Mereka Berdua Dan Kiranya Allah Meningkatkan Kualitas Keturunan Mereka, Menjadikan Pembuka Pintu Rahmat, Sumber Ilmu Dan Nikmat Serta Rasa Aman Bagi Umat“, demikian doa Rasulullah saat pernikahan putrid beliau, Fatimah dengan
Ali Bin Abi Thalib.
Penulis yang sedang mengambil
profesi psikolog klinis
FB: Inspiring Man
PIN: 321358C0
0 komentar:
Post a Comment