“Mintalah
aku dengan serius kepada Allah”, demikian
kata bidadari jelita itu pada si pemuda. “Demi Allah,
aku juga memintamu dengan serius kepada Allah”, lanjutnya. Keduanya
berjarak sangat jauh, mereka tidak tahu kapan akan bertemu dan bersatu, yang
jelas keduanya saling merindu.
Dengan
setia dan sabar, bidadari jelita menanti si pemuda. Dalam penantian itu, dia
berdoa, “Ya Allah, bantulah dia dalam
agama-Mu dan jadikanlah dia taat kepada-Mu”. Di belahan dunia yang
lain, si pemuda semakin tekun ibadahnya. Dalam sebuah perjalanan sampai-sampai
si pemuda menggunakan waktu istirahatnya untuk sholat. Kala teman
seperjalanannya makan, si pemuda memilih berpuasa.
Teman
seperjalanannya pun merasa heran. Dengan rasa penasaran, bertanyalah dia pada
si pemuda akan alasan semua yang dilakukannya. Si pemuda kemudian menceritakan
apa yang dialaminya. Suatu ketika si pemuda bermimpi melihat istana surga dan
di dalam surga itu si pemuda melihat bidadari jelita. Berkatalah bidadari pada
si pemuda, “Mintalah aku dengan serius
kepada Allah. Demi Allah, aku juga memintamu dengan serius kepada Allah”.
Kisah tersebut saya nukilkan dari Tamasya ke Surga karya Ibnu Qayyim Al
Jauziyah.
Di
dunia ini, segalanya Allah SWT ciptakan berpasang-pasangan. Ada terang, ada
gelap; ada siang, ada malam; ada laki-laki, ada perempuan dst. Laki-laki dan
perempuan nampak berlainan, gelap dan terang seolah nampak bertentangan tetapi
jika dipahami lebih lanjut, ada keduanya ternyata saling melengkapi dan
menyempurnakan. Apa jadinya dunia ini jika isinya laki-laki semua atau
perempuan semua? Alangkah repotnya jika dunia ini isinya malam semua, tiada
siangnya? Adakah waktu istirahat jika dunia ini isinya siang semua, tiada
malamnya?
Allah SWT
ciptakan berpasang-pasangan untuk saling menyempurnakan. Karena itulah mengapa
bersatunya antara laki-laki dan perempuan melalui pernikahan dikatakan sebagai
menggenapkan. Separuh agamanya digenapkan.
Setiap
diri dilahirkan dengan jodohnya masing-masing sebagaimana Adam berpasangan
dengan Hawa. Keduanya diciptakan tidak bersamaan. Mula keduanya tinggal di
surga kemudian Allah SWT turunkan ke dunia. Keduanya diturunkan tidak pada
tempat yang sama. Adam di belahan bumi yang satu, Hawa berada di belahan bumi
yang lainnya. Dalam perjalanan menemukan Hawa, ada terus bermunajat dan
meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Demikian pula Hawa, dia juga banyak-banyak
berdoa, memohon ampunan, dan terus meningkatkan taqwa. Sampailah kemudian
mereka Allah SWT pertemukan dalam momentum yang membahagiakan.
Jodoh
seseorang tidak ada yang tahu kecuali Allah SWT. Barulah setelah takdir
terjadi, manusia mengetahui. Ada yang mendapatkan pasangan hidup seumuran, ada
pula yang beda umurnya. Tidak ada yang salah dengan selisih usia karena Allah
SWT menurunkan keduanya ke dunia pada waktu yang berbeda. Ada yang duluan, ada
yang kemudian. Ada yang mendapatkan pasangan satu kampung, ada pula yang beda
negara. Tidak ada yang salah dengan tempat karena Allah SWT menurunkan keduanya
ke dunia tidak pada tempat yang sama. Asam di laut, garam di laut, keduanya
akan bertemu juga di periuk. Jika memang sudah jodoh, pasti akan bertemu dan
bersatu.
Setiap kita
sudah selayaknya yakin bahwa setiap orang yang lahir ke dunia Tuhan bersamai
pula dengan jodohnya. Tuhan ciptakan Adam, Dia ciptakan pula Hawa sebagai
pasangan hidupnya. Lagipula, Allah SWT berfirman bahwa Dia ciptakan segala yang
ada di dunia ini berpasang-pasangan. Sebuah jaminan kepastian bahwa setiap
orang memiliki pasangan. Perihal jodoh bagi seseorang, Allah SWT memang
merahasiakan siapa yang menjadi jodohnya? Bukankahada banyak hal yang lebih
menarik dalam kehidupan ini ketika rahasia (secret)?
Produk yang ada embel-embel “secret”
kenyataannya laris manis.
Adam
dan Hawa diturunkan ke dunia pada tempat yang berbeda, mengalami waktu yang
tidak sama, dan tumbuh pada lingkungan yang tidak serupa. Keduanya mengalami
kerinduan tetapi tidak pernah berputus asa akan adanya perjumpaan. “Saling mendoakan”, itu
barangkali cara keduanya mengobati kerinduan. Pada tempat yang berbeda,
keduanya sama-sama belajar memaknai arti cinta yang sesungguhnya. Waktu yang
nantinya mempertemukan.
Dalam
keterpisahan, Adam dan Hawa menyemai bibit cinta yang Allah SWT letakkan dalam
jiwa keduanya. Keimanan yang menjadikan akar cinta menghujam dalam sampai ke
surga. Kerinduan menjadi air segar yang menjadikan cinta tetap tumbuh dan
bersemi dalam jiwa. Ketaqwaan menjadikan batang cinta tumbuh membesar dan
menjulang tinggi menyentuh langit. Kesabaran menjadikan buah dari cinta
benar-benar masak dan manis rasanya. Mereka paham bahwa tugas di dunia ini
adalah mengambil cinta dari langit lalu menaburkannya pada seluruh penjuru
bumi. Bertemulah mereka setelah memahami tugas mulia tadi.
Yogyakarta, Februari 2013
Pariman Siregar
0 komentar:
Post a Comment