“Mama, uang saya sudah habis”, sekilas terdengar di antara keramaian penumpang kereta malam itu. Seorang gadis remaja usia SMA sedang menerima telpon dari mamanya. Sesak penumpang kereta ekonomi nampak tidak dihiraukan lagi. Pembicaraan yang penting sepertinya.
Seorang gadis kelas 2 SMA sengaja meninggalkan rumah menuju Depok, tempat pamannya berada. Ada ketidaknyamanan yang dirasakannya di rumah, begitu paparnya. Ayah dan ibunya termasuk orang sibuk. Pagi-pagi sekali sudah berangkat bekerja di saat dirinya masih enggan untuk bangun tidur. Pulang dari kerja pun sudah larut malam, nyaris tidak sempat makan malam bersama. Bahkan lebih sering, dia sudah mengantuk ketika orangtuanya pulang.
Keseharian yang menjenuhkan. Rutinitasnya hanya berkisar sekolah, nonton TV, belajar, tidur dst. Dia tidak memiliki aktifitas berorganisasi, tidak banyak teman yang dimiliki. Karena itulah, dia nekat pergi dari rumah tanpa ditemani bahkan mungkin tanpa sepengetahuan orangtuanya. Protes, begitulah kira-kira maksud kepergiannya. Protes sebagai wujud menuntut perhatian dari orangtua yang selama ini dia anggap mengabaikannya. Cara yang ditempuh untuk mendapatkan perhatian karena selama ini ayah dan ibunya lebih menjadikan pekerjaan sebagai hal yang diutamakan.
Begitulah, tidak semua orang bisa mengungkapkan maksud hati secara asertif. Keadaan lingkungan barangkali yang tidak memberikan kesempatan untuk aman mengungkapkan. Dalam kesempatan lain, lingkungan memang kurang peka menterjemahkan reaksi dari seseorang. Keadaan individu yang lebih terbiasa memendam perasaan mungkin pula yang menjadikan tidak asertifnya seseorang mengungkapkan perasaan.
Bahasa! Boleh dibilang bahwa segala sesuatu memiliki bahasa masing-masing dalam mengungkapkan maksudnya. Dibutuhkan kepekaan untuk bisa memahami berbagai ungkapan yang ada di lingkungan. Tindakan seorang remaja yang pergi dari rumah tanpa pamit seperti dalam bagian awal tulisan ini merupakan bahasa protes dia pada orangtuanya. Berbagai demonstrasi dan pengrusakan yang diberitakan di media sebenarnya juga ungkapan protes dan kemarahan karena maksud yang ingin disampaikan tidak didengarkan. Barangkali pernah ingat saat kecil, ngambek dan membuat berbagai ‘kerusuhan’ agar orang yang lebih dewasa perhatian? “Tidak ada anak yang tidak mau diajak kerjasama, yang terjadi sebenarnya adalah dia ingin dipahami dan dimengerti”, demikianlah. Ungkapan-ungkapan kemarahan, protes, pesakitan yang mengandung maksud dan harapan agar dirinya lebih didengarkan, dipahami, dan dimengerti oleh orang lain.
Seorang wanita mengeluhkan lambungnya sakit. Sudah beberapa hari dia rasakan. Awalnya diabaikan tetapi lama kelamaan mengganggu juga. Dalam sebuah kesempatan, dia mencoba untuk duduk dengan tenang, diam, mata terpejam, dan mengajak dialog lambungnya yang sakit tersebut. Diajaknya bicara, barangkali ada hal yang sebenarnya ingin lambung sampaikan. Benar saja, ternyata rasa sakit yang terjadi merupakan bentuk protes dari lambung. Selama beberapa hari wanita tersebut tidak begitu memperhatikan lambungnya, sibuk dengan pekerjaan, banyak pikiran, dan sering makan terlambat. Ajaib, rasa sakitnya pun perlahan hilang setelah dia meminta maaf kepada lambungnya sendiri, menanyakan apa yang diinginkan, dan meminta lambungnya untuk segera sembuh.
Pernah suatu kali seorang teman dirawat di rumah sakit. Tidak biasanya. Saya katakan padanya bahwa sakit pada hakikatnya adalah ungkapan ingin diperhatikan. Dengan keadaan sakitnya, dia lebih perhatian perihal dirinya sendiri, orang-orang di sekitarnya pun secara manusiawi lebih perhatian pula. Rasulullah menyampaikan bahwa setiap bagian tubuh itu memiliki hak. Boleh jadi, berbagai hal yang terjadi pada bagian tubuh merupakan ungkapan bagian tersebut dalam ‘menuntut’ dipenuhi haknya.
Dalam hubungan interpersonal, ingat saat interaksi yang akrab suatu kali terjadi kerenggangan? Sebuah keadaan yang mengungkapkan kebutuhan untuk sejenak menghentikan interaksi guna melihat hasil hubungan yang selama ini dilakukan. Silent moment yang seseorang butuhkan untuk sejenak berinteraksi dengan diri mereka sendiri. Pause dari berbagai kesibukan dengan dunia luar untuk berhubungan dengan sisi dirinya yang terdalam. Penyelaman pada jiwa yang terdalam, menemukan kembali spirit dalam hidup ini, dan mendekatkan kembali pada Allah SWT dalam khalwatnya. Muhasabah diri, bahasa agamanya.
Diperlukan sebuah kepekaan memang untuk memahami berbagai bahasa dan ungkapan. “Merapi sedang punya gawe”, kata mbah Marijan ketika itu. Khalayak tentu masih ingat keengganan juru kunci Merapi tersebut untuk mengungsi dan sempat membuat hubungannya dengan Sri Sultan renggang. Dia memahami betul bahasa yang ingin Merapi sampaikan. Sekian waktu dia sudah berinteraksi dengan merapi melalui berbagai pengamatan yang dilakukan. Dia juga belajar dari pendahulunya perihal ‘tabiat-tabiat’ Merapi. Gemuruhnya Merapi sekian tahun silam dimaknai sebagai Merapi punya gawe. Merapi sedang memiliki hajat yaitu meregulasi dirinya sendiri. Sebuah fase dimana sebuah gunung ‘memulihkan’ kondisinya seperti semula. Ibarat seorang yang suatu kali lapar, dia butuh makan dst. Gunung dan alam dipandang layaknya makhluk-makhluk yang lain.
Bukan karena Mbak Marijan ‘orang pinter’ tetapi karena dia menggunakan ilmu titen yang diwarisi dari pendahulunya dan dipadukan dengan pengamatannya. Dari pengamatan berulang, diketahuilah polanya, dan diperkirakanlah kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Perihal kemudian kemungkinan itu benar terjadi atau tidak terjadi ada Allah SWT yang Memegang segala urusan takdir yang terjadi. Karena itulah tidak sepantasnya menjadikan prediksi sebagai landasan satu-satunya, yang terjadi umumnya banyak gagalnya. Tetaplah keputusan Allah di atas segalanya, di sanalah tawakal ditempatkan dalam setiap jiwa.
Bagaimana dengan bencana Merapi sendiri? Bagaimana makna berbagai bencana yang ada? Bagaimana pula dengan cobaan, masalah yang dalam suatu kesempatan dialami?
Adanya bencana Merapi misalnya, menjadikan banyak orang tergerak hati mengulurkan tangan memberikan bantuan. Mulai dari anak-anak SD yang mengumpulkan sumbangan, mahasiswa yang menggalang dana, berbagai organisasi yang turun terjun memberi, dan berbagai pihak yang akhirnya turut peduli. Berbagai hal yang dilakukan adalah bentuk perhatian, kepedulian, empati. Boleh jadi selama ini, banyak orang yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri hingga Allah SWT melalui alam menyampaikan pesannya agar orang-orang perhatian pada saudara-saudara mereka sesama manusia. Bagi mereka yang terkena dampak bencana, boleh jadi selama ini jauh berinteraksi dengan Penciptanya, mengingkari berbagai nikmat yang telah dianugerahkan. Melalui bencana yang menimpa mereka, seolah bermaksud agar manusia kembali pada Tuhannya. Dalam ketidakberdayaan; bencana, permasalahan, cobaan umumnya manusia menyadari keadaaanya. Begitu kira-kira maksud dari yang ingin disampaikan berbagai peristiwa yang dialami manusia. Ada maksud yang ingin disampaikan dari setiap ekspresi dan kejadian. Bijaksana memaknainya akan menjadikan setiap hal lebih menenangkan hati. * (Diambil dari Buku MAGNET KEBAHAGIAAN, Pariman Siregar)
Semoga kelimpahan dan kebahagiaan senantiasa bersama kita. Good luck! Untuk sharing, diskusi, konsultasi, permintaan menjadi pembicara (bedah buku, training pengembangan SDM, outbound ds) silahkan kontak melalui hand phone, Fb (Inspiring Man), twitter (@inspirasisegar). Thanks! With Pariman Siregar; “Not only motivation but also WISDOM”
(Pariman Siregar; Penulis Buku “MASTER from minder”, terapis, trainer, narasumber pengembangan SDM, motivator, dan blogger)
Luar biasa,,
ReplyDeleteawalnya saya kira curcol,,
namun isinya sangat inspiratif,,
Silakan dishare.
ReplyDelete