“Istriku, sekarang ada dua pilihan untukmu: engkau memilih bersamaku di surga dan engkau serahkan seluruh perhiasanmu ke Baitul Maal atau engkau memilih perhiasanmu dan akan aku ceraikan engkau sekarang juga,” tegas Umar bin Abdul Aziz kepada istrinya, Fatimah.
Apa yang dikatakan Umar bukan ancaman, bukan pula kebencian, tetapi justru sebaliknya. Tawaran tersebut adalah wujud ketegasan sebagai seorang laki-laki yang diamanahi kepemimpinan.
Pemimpin dalam Bahasa Inggris biasa disebut lead(er) secara harfiah berarti orang yang diikuti. Karena itulah seorang pemimpin haruslah memiliki visi yang menjadi tujuan, prinsip yang menjadi pegangan, ketegasan yang dijadikan kepastian gerakan. Tanpa semua itu, mereka mungkin saja menjadi pimpinan tetapi bukan seorang pemimpin. Pimpinan hanyalah kedudukan, status yang dilabelkan, sedangkan pemimpin lebih pada peran, ruh yang menggerakkan. Bisa saja seseorang sudah menjadi penganten (menikah) tetapi belum tentu mereka sudah benar-benar menjadi ”suami” atau menjadi ”istri.” Secara status sosial sudah, tetapi secara peran banyak kita temui masih jauh dari kenyataan. Dengan ruh kepemimpinan menjadikan mantab hati mereka yang dipimpin tanpa rasa kebingungan.
Lalu, bagaimana jawaban Fatimah? ”Saya lebih memilih engkau suamiku dari pada perhiasan itu,” begitu jawaban Fatimah dengan penuh keyakinan. Suami sejati (baca: pemimpin sejati) memang begitu adanya diyakini. Bukan karena kepandaian orasi dan lobinya tetapi karena aura keyakinan yang lahir dari prinsip terdalam. Prinsip tersebut adalah prinsip yang bersumber dari spiritual ke-illahi-an yang akhirnya pun menyentuh sisi terdalam kemanusiaan. Kemudian lahirlah sekedar simpati berkembang menjadi empati lalu cinta yang melahirkan keberanian ’pengorbanan’, dan puncak tertingginya adalah penyerahan diri total.
Namun, tidak semua orang memahami. Khususnya ’cinta yang melahirkan keberanian pengorbanan’. Tidak ada istilah dikorbankan (dirugikan) dalam cinta karena cinta sendiri berarti ’penyatuan’ antara yang mencintai dengan yang dicintai. Memberi sebanyak-banyaknya untuk yang dicintai bukan meminta sebanyak-banyaknya, itulah makna cinta.
Tahukah bahwa Fatimah adalah seorang yang lahir dari latar belakang keluarga berlimpah kemewahan? Dia adalah anak seorang khalifah (Abdul Malik bin Marwan), saat pernikahannya dengan Umar bin Abdul Aziz, banyak hadiah berupa perhiasan yang diberikan oleh saudara dan pejabat negara. Namun, kemewahan dunia tidak menjadikan silau pandangannya. Ketika sang suami diangkat menjadi khalifah dan memberikan pilihan pada dirinya, ”harta atau suaminya,” tetap dia memilih suaminya. Lebih memilih bersama dengan seorang laki-laki yang pada akhir hayatnya meninggalkan 11 putra, mewarisi 17 dinar (5 dinar untuk membeli kain kafan, 2 dinar untuk penguburan, sisanya dibagikan masing-masing 19 dirham).
Pilihan Fatimah membersamai Umar bin Abdul Aziz adalah pilihan yang tepat. Hidup dengan kesederhanaan tanpa kemewahan bersama khalifah ke 5. Seorang khalifah yang berhasil memakmurkan negara kurang dari 3 tahun. Tahukah bahwa jika sekarang ketika menyebut ’kelaparan,’ barangkali daerah Afrika yang terlintas di pikiran. Pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz tiada penduduk Afrika yang didera kemiskinan. Sampai-sampai petugas zakat pun kebingungan karena tidak ada seorang pun yang layak menerima zakat. Tiap kali mengetuk pintu, bersalam kemudian menyampaikan maksud membagikan zakat, tuang rumah mengatakan, ”Bagaimana saya mau menerima zakat, wong saya memberikan zakat, berikan pada yang lain saja.” Para penduduk merasa lebih layak sebagai muzakki (pemberi zakat) ketimbang penerima zakat.
Membersamai Umar bin Abdul Aziz berarti membersamai menuai kebahagiaan kelak di surga. Seorang pemimpin yang membawa kemamuran. Sampai-sampai gubernur Mesir ’kebingungan’ karena kas negara yang berlimpahan; gaji pegawai sudah dinaikkan, orang yang punya utang sudah dibayari, yang lajang dinikahkah dan dibiayai tetapi kas negara masih berlimpah adanya.
Siapa sanggup menjalani kehidupan penuh kesederhanaan (ditengah kelimpahan) sebagaimanai Fatimah jika tanpa kuatnya keimanan. Ya, keimaman itulah kuncinya. Bersama keimanan berarti ada kevisioneran, pandangan yang jauh menembus batas tempat dan zaman. Keimanan bukan sekedar ’yakin’ tetapi optimis juga berkhusnudzon akan segala yang diberikan Tuhan. Optimis semuanya akan berakhir dengan kebahagiaan.
Pasangan sama-sama visioner bisa kita temui pula pada keluarga Ibrahim. Siti Hajar ditinggal dia di lembah gersang Makkah sedangkan dirinya sedang mengadung putra pertamanya (lihatlah QS Ibrahim: 37). Bukan penelantaran yang dipahami Hajar tetapi sebuah ujian keimanan yaitu keyakinan akan Allah SWT, optimisme, dan baiknya persangkaan. Dia tidak berkutat dengan keadaan, meratap dan putus asa tetapi wujud nyata tes kelayakan membersamai laki-laki visioner yang menggegerkan Namrud dan kerajaanya.
Nyatanya benar Siti Hajar membersamai Ibrahim. Dari keturunananya lahirlah Ismail yang menjadi seorang nabi bahkan dari keturunan Ismail yang kemudian melahirkan Rasul akhir zaman, Rasulullah saw. Segala perjuangannya pun diabadikan sebagai peribadahan (ibadah haji).
”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” Hukum ’keadilan’ berjalan adanya. Laki-laki visioner seperti Nuh lebih akan mendapatkan pasangan yang terbaik di surga nantinya. Istri dunianya ’tidak layak’ untuk membersamainya. Pun Asyiah, Fir’aun tidaklah pantas mendapatkan Asyiah yang begitu visioner. Laki-laki visioner bertemu dengan wanita visioner (Ibrahim bertemu Hajar) hasilnya visioner (Ismail –-- Rasulullah saw). Laki-laki visioner bertemu dengan wanita tidak visioner (Nuh bertemu istrinya) hasilnya tidak visioner (anaknya yang ikut ingkar). Laki-laki tidak visioner bertemu dengan wanita visioner (Fir’aun bertemu Asyiah) hasilnya visioner (Musa yang diasuhnya). Laki-laki tidak visioner bertemu dengan wanita tidak visioner (Abu Lahab bertemu Istrinya) hasilnya tidak visioner (anak-anaknya). [sepertinya kok lebih dominan peran para wanita dalam menentukan visioner tidaknya anak, ya?]
-->
Pariman Siregar: Inspirator dan Penulis Buku Master from Minder
Subhanallah, tULISAN yg menginspIRASI...kbtln lg bc postinganku dblog tent.negri syahadah, n p-man sempat koMEN dTHN 2008 kemarn. So sy kLIK. G nyangka tlsn2 p-man semakin matang n asyik...
ReplyDeleteTerima kasih kunjunganya dan share idenya...:-) Untuk refrensi silang bisa dilihat di Buku Master from Minder terbitan Pro You.
ReplyDeleteTerima kasih atas kunjungan P-Man,Salam sukses selalu.
ReplyDeleteSy Ijin Copas Tulisan INi. Mw di Share ma Temen2 di FB...
ReplyDelete@Vee: silahkan aja..Semoga bermanfaat..:-)
ReplyDelete