Adalah dia wanita yang paling mahal maharnya. Hampir-hampir lelaki yang berangkat melamar, pulang dengan tangan hampa. Dijawab lamaran lelaki yang datang padanya, "Sesungguhnya laki-laki sepertimu tidak pantas saya tolak lamarannya tetapi saya tidak akan kawin denganmu." Apakah lelaki yang melamar tadi bukan orang kaya? Justru dia dikenal sebagai orang yang berlimpah hartanya. Apakah lelaki yang datang melamarnya tadi seorang yang tidak berpendidikan? Justru dia dikenal sebagai seorang yang ahli memanah dan menunggang kuda. Apakah fisiknya tidak tampan? Tentulah lelaki tadi seorang yang bagus fisiknya karena yang dilamar adalah seorang janda yang menjadi pujaan para lelaki di tempatnya. Siapakah wanita itu? Dan siapa pula lelaki yang melamarnya? Lalu apa yang menjadi alasan wanita tadi menampik lamaran lelaki tersebut?
Ghumaisho’ itulah nama aslinya, tepatnya Rumaisho’ binti Milhan. Dia adalah seorang wanita dari kaum Anshor yang menerima Islam melalui dakwah Mus’ab bin Umair. Orang-orang lebih mengenal Ghumaisho’ dengan panggilan Ummu Sulaim. Dia hidup menjanda setelah ditinggal mati suaminya, Malik bin Nadhor yang masih musyrik.
Kecerdasan, kecantikan, dan kemuliaan akhlaq yang menjadikan para lelaki tertarik ingin mendekati Ummu Sulaim. ”Lagi pula, sah-sah saja karena dia seorang janda,” begitu kira-kira pikir Zaid bin Sahal atau lebih dikenal dengan sebutan Abu Tholhah. Sebagai seorang yang terpandang, berkecukupan harta, ahli bekuda dan memanah, tentulah lebih dari cukup sebagai modal lamaran. Benar saja, dengan optimisme yang tinggi akan diterima, berangkatlah Abu Tholhah menuju rumah Ummu Sulaim. Setibanya di rumah Ummu Sulaim, disampaikanlah maksud kedatangannya yaitu melamar Ummu Sulaim menjadi pendamping hidupnya.
Betapa heran Abu Tholhah mendengar jawaban dari Ummu Sulaim, ”Sesungguhnya laki-laki sepertimu tidak mungkin ditolak, hanya saja saya tidak boleh menikah dengan orang kafir.” Abu Tholhah mengira ada alasan lain, apakah perkara mahar yang kurang banyak ataukan sudah ada lelaki lain yang telah lebih dulu melamar Ummu Sulaim. "Demi Allah! Apakah yang sesungguhnya yang menghalangi engkau untuk menerima lamaranku, hai Ummu Sulaim? Apakah emas atau perak yang engkau kehendaki?" demikian tanya Abu Tholhah penuh rasa ingin tahu. “Sama sekali tidak. Bukan karena emas dan perak aku menerimamu. Demi Alloh, jika engkau mau masuk Islam maka aku rela menjadi istrimu, dan ke-Islamanmu menjadi mahar bagiku, bukan emas dan perak,” jawab tegas wanita yang juga ibunya Anas bin Malik itu.
Spiritualitas Melampaui Realitas
Abraham Maslow mungkin akan mengangguk-angguk ”aha” jika mengetahui kisah, ”Wanita Termahal Maharnya.” Dia seakan menemukan satu lagi penguatan akan adanya meta-kebutuhan dalam hierarki kebutuhan yang ia cetuskan. Ummu Sulaim menikah dengan pertimbangan spiritual bukan karena ingin kecukupan: sandang-pangan-papan (kebutuhan fisiologis), bukan pula karena ingin mendapatkan keamanan-ketenangan (kebutuhan keamanan), apalagi alasan hanya ingin mendapatkan cinta dari lawan jenis-teman hidup (kebutuhan sosial), lebih-lebih ingin mendapat pujian-penghargaan dari orang lain (kebutuhan penghargaan), tidak pula ingin mendapat kesempatan mengembangkan bakat kewanitaannya (kebutuhan aktualisasi diri).
Apakah berarti Ummu Sulaim tidak membutuhkan sekian kebutuhan tadi? Sisi kemanusiaannya mengakui bahwa dia membutuhkan sekian kebutuhan layaknya wanita lain, ”Sesungguhnya laki-laki sepertimu tidak mungkin ditolak, .....” Tetapi ada sesuatu yang lebih dari itu, kunci untuk mendapatkan sekian kebutuhan yang lain. Kunci itu ada pada kualitas spiritual, begitu kira-kira. Ketika spiritual berbicara maka bukan hierarki lagi yang bekerja. Tidak harus kemudian seseorang mencapai kebutuhan diatasnya dengan memenuhi kebutuhan di bawahnya terlebih dahulu. Mau tidak mau itulah yang menmbuat Maslow menggambar piramida hierarki kebutuhan bukan dengan puncak yang lancip tapi tumpul. Dia mengakui kerja kebutuhan spiritual (meta-kebutuhan) melebihi logikanya.
Hidupnya sederhana tetapi bahagia, disitulah salah satu tanda spiritual yang bekerja. Dalam penggalan kisah Ummu Sulaim, kita bisa temukan bahwa standar spiritual sangatlah tepat menjadi kriteria. Suatu kali Abu Tholhah sempat terlena menikmati keindahan kebun kurma luas miliknya. Burung yang menari kesana kemari dengan siulan merdu sempat membuat terlena hingga dia tertinggal sholat. Serasa sesal yang dalam ditemui Rasulullah SAW, dikatakan semua perihal terlenanya dia, dan tahukah apa yang dilakukan terhadap kebun kurma tadi? Disedekahkan kebun kurma begitu saja kepada Rasulullah untuk digunakan demi agama tanpa rasa khawatir akan kekurangan.
Spiritualitas memang bekerja melampaui realitas. Secara fisik, Abu Tholhah sudah tua dan layak meminta izin untuk tidak berjihad tetapi faktanya, masih saja dia berangkat. Wajar menurut kita seandainya dia tidak ikut berperang karena sudah berjuang sejak bersama Rasulullah dilanjutkan ketika masanya Abu Bakar lalu Umar. Nyatanya, semangat juangnya masih seperti yang dulu. Saat pemerintahan Utsman, dia berangkat berjihad mengarungi lautan dan syahid di tengah lautan dengan wajahnya tiada menampakkan duka dan kelelahan.
Selarasnya Spiritualitas dengan Humanitas
”Seorang perempuan dinikahkan karena empat perkara; hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Pilihlah perempuan yang bagus agamanya, niscaya engkau akan memperoleh keberuntungan,” demikian Rasulullah menasehatkan. Sudah sewajarnya seseorang memilih pasangan dengan alasan beragam. Manusiawi sekali seseorang melandaskan pada harta, rupa juga bagus tidaknya keturunan. Orang Jawa misalnya, kriteria pasangan haruslah memiliki ’bibit,’ ’bebet,’ dan ’bobot’ yang baik. ’Bibit’ menandakan baiknya keturunan yang nampak dari rupa, penampilan, dan asal-usul. ’Bebet’ menunjukkan latar belakang keluarga. ’Bobot’ lebih pada kekayaan yang dimiliki. Masing-masing kelompok masyarakat mungkin memiliki kriteria yang lain.
Islam tidak mengingkari sisi kemanusiaan. Justru Islam memuliakan kemanusiaan dengan menempatkan dalam posisi yang semestinya. Fitrahnya manusia memilih pasangan setidaknya berdasarkan; hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Dengan agamalah semua sifat kemanusian menjadi kemuliaan. Hanya melandaskan kecantikan bisa jadi kehinaan yang didapatkan. Mendasarkan pada kelimpahan harta mungkin saja malah menjadikan sengsara, hidup diperdaya. Seorang budak perempuan hitam kulitnya, cacat tubuhnya maka dengan kuat agamanya, dialah yang lebih utama.
Keselarasan Islam dengan kemanusiaan menjadikan segalanya ditempatkan seadil-adilnya (semestinya). Datang sebagai agama penyempurna, mengembalikan kemurnian sebagaimana mestinya. Bukankah menikah adalah fitrah? Demikianlah Islam menjadikan pernikahan penuh kemulyaan. Segala yang diberikan menjadi ibadah setelah menikah. Bukankah menikah berarti melengkapi separuh agama? Islam bukan ’anti-tesis’ dari ’kemanusiaan’ jelas terlihat Rasulullah mewanti-wanti barang siapa yang tidak menikah berarti bukan umat beliau karena menikah adalah sunah beliau.
Kesempurnaan Keputusan
Sudah sewajarnya tabiat manusia ingin mendapatkan sesuatu yang sempurna dalam hidupnya termasuk pula dalam berkeluarga. Karena memang manusia berasal dari Yang Maha Sempurna dan akan kembali pada Yang Maha Sempurna. Bukankah kehidupan adalah bagian dari proses menuju ke sana? Buktinya, kita diperintahkan untuk meneladani manusia yang paling sempurna yaitu Muhammad SAW, Kekasih Allah SWT.
Keinginan boleh saja ditentukan oleh manusianya tetapi realitas yang diterima sangat variatif kemungkinannya. Mungkin ada orang yang fisiknya biasa mendapat pasangan rupawannya luar biasa begitu juga sebaliknya. Ada pula orang yang menginkan pasangan yang kaya raya, faktanya malah hidup dengan pasangan yang sederhana. Masih banyak kemungkinan yang bisa ditemukan dalam kehidupan ini. Patutlah kiranya berpegang pada prinsip bahwa ”wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji pula, dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik pula.” *
Prinsip keselarasan senantiasa berjalan. Mungkin ada yang berharap mendapat pasangan seperti Fatimah. Bertanyalah dalam diri sendiri apakah sudah selevel Ali bin Abi Thollib. Terbayangkan pasangan seperti Aisyah tetapi kehidupannya tiada meneladani Rasulullah, tentu hil yang mustahal. Nampaknya akan lebih berpeluang jika mengharapkan keidealan dengan menjadikan diri seideal mungkin.
Lalu, akankah menemukan yang ideal seperti yang diharapkan? Entahlah, yang pasti dengan ikhtiar manusia akan dimudahkan menuju takdirnya. Lagi pula ’rasa ingin’ terkadang lebih pada bisikan nafsu bukan suara Illahi. ”Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui,” demikian Allah berfirman dalam QS Al Baqarah: 216. Meminimalkan bisikan keinginan (setan) dengan melandaskan pemilihan pada pertimbangan spiritual. Bukankah itu hikmah dianjurkannya sholat istiqarah terlebih dahulu sebelum membuat keputusan final?
Spiritual Inspirator: Pariman Siregar
0 komentar:
Post a Comment