by P-Man
"Orang besar memahami betul, prioritas yang harus disimpan di otaknya dan cukup ditulis dalam catatan bukunya." P-Man
Mutiara pencerahan hati kali ini akan diawali dengan penggalan kisah seorang tokoh terkenal abad ini. Dia adalah Henry Ford. Pada suatu kesempatan dia mengajukan gugatan pada koran ternama di Chicago atas pemberitaan tentang dirinya yang dianggap tidak perduli dengan negara dan tidak mempunyai pengetahuan. Pertanyaannya, benarkah orang sekaliber Ford tidak berpengetahuan?
Ternyata memang dia tidak bisa menjawab pertanyaan pegacara saat dipersidangan, “Seberapa banyak tentara yang dikirim Inggris untuk memadamkan pemberontakan di Koloni tahun 1776?” Ford hanya menjawab, “Saya tidak tahu pasti berapa jumlahnya. Tapi, yang saya dengar, jumlahnya jauh lebih banyak daripada saat dikirim pulang.” Berbagai pertanyaan menjengkelkan akhirnya dijawab dengan, “Jika saya benar-benar diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan konyol yang baru kalian ajukan, dan pertanyaan lainnya harap tahu saja bahwa di meja kantor saya ada berjajar tombol elektronik. Dengan memencet satu tombolsaja saya bisa mendapatkan orang-orang yang bisa memberi saya jawaban tepat atas segala pertanyaan ini dan pertanyaan lain yang kalian tidak cukup cerdas untuk menjawabnya sendiri. Sekarang, saya dengan rasa hormat bertanya kepada anda, mengapa saya memenuhi otak saya dengan begitu banyak perincian yang tidak berguna untuk sekedar menjawab setiap pertanyaan konyol…” Persidangan menjadi hening.
Kalau kita bagaimana, ya? Apa yang dimasukkan di otak selama ini. Mutiara yang berharga atau sampah yang bau dan bikin penyakit? Penuntut ilmu sejati bukanlah tidak cukup hanya sekedar pengumpul pengetahuan ke dalam otaknya. Bukan sekedar hafal berbagai macam pengetahuan. Kalau sekedar hafal lalu apa bedanya dengan kamus? Kalau dalam lapangan pekerjaan, barangkali dia hanya dihargai seharga kamus atau ensiklopedia?.
Ingat Imam Al Ghozali? Pernah suatu ketika dicegat perampok dan diambil semua barang bawaannya termasuk buku-buku yang disayanginya. “Jangan engkau ambil bukuku, ambillah yang lain,” kira-kira begitu pinta beliau. Perampok menjawab, “Ilmu itu di dalam hati bukan disini.” Kalau bukunya hilang apakah hilang pula ilmunya? Buku adalah jendela ilmu dan hati adalah rumah ilmu yang didapatnya tadi.
Dr. Amir Faishol Fath MA, pengajar tafsir dan hadist di beberapa perguruan tinggi di Jakarta yang menghabiskan pendidikan Ushuluddin di Pakistan itu mengatakan ilmu bukan hanya substansi, bukan hanya materi, tapi juga perjuangan ketika mencapainya. Kelezatan sejati ilmu bisa dirasakan ketika sudah bersusah-susah, berlelah–lelah untuk mendapatkanya. Kita bisa menemui kisah perjalanan Nabi Musa mencari menimba ilmu dari Nabi Khidir. Betapa beratnya ujian yang dihadapi untuk sampai kepada hakikat ilmu.
Rosulullah SAW dikenal sebagai Al Qur’an berjalan. Beliau tidak sekedar hafal tetapi paham betul isi Al Qur’an dan teraktualisasi dalam akhlaq beliau dalam semua aspek kehidupan. Generasi sahabat pun tidak kalah semangatnya, kalau turun satu ayat saja, mereka mengahfalkan, memahami betul maknanya, dan melakukannya dengan kesungguhan. Abu Hurairoh (pecinta kucing) menyadari bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, maka ia bertekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan cara mengikuti Rasul terus menerus dan secara tetap menyertai majlisnya. Kemudian disadarinya pula adanya bakat pemberian Allah ini pada dirinya, berupa daya ingatannya yang luas dan kuat, serta semakin bertambah kuat, tajam dan luas lagi dengan do'a Rasul, "agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.” Kemudian Ia menyiapkan dirinya dan menggunakan bakat dan kemampuan karunia Ilahi untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting ini dan mewariskannya kepada generasi kemudian. Oleh karena itulah, ia termasuk yang terbanyak menerima dan menghafal Hadits, serta meriwayatkannya.
Atau kita mungkin dapat mengambil pelajaran dari seorang tokoh zaman keemasan Islam. Beliau lahir di Harran, 10 Rabiul Awwal 661 H di zaman ketika Baghdad merupakan pusat kekuasaan dan budaya Islam, Ibnu Taymiyah lahir sebagai calon perawi hadist yang handal.
Ketika berusia enam tahun, Taymiyyah kecil dibawa ayahnya ke Damaskus. Di Damaskus ia belajar pada banyak guru. Ilmu hitung, khat, Nahwu, Ushul fiqih merupakan bagian dari ilmu yang diperolehnya. Di usia belia ia telah mereguk limpahan ilmu utama dari manusia utama. Hingga dalam usia muda , ia telah hafal Al-qur'an. Tak hanya itu, iapun mengimbangi ketamakannya menuntut ilmu dengan kebersihan hatinya. Ia amat suka menghadiri majelis-majelis mudzakarah (dzikir). Pada usia tujuh belas tahun kepekaannya terhadap dunia ilmu mulai kentara. Dan umur 19, ia telah memberi fatwa.
Ibnu Taymiyyah amat menguasai rijalul Hadits (perawi hadits) dan Fununul hadits (macam-macam hadits) baik yang lemah, cacat atau shahih. Beliau memahami semua hadits yang termuat dalam Kutubus Sittah dan Al-Musnad.
Dalam mengemukakan ayat-ayat sebagai hujjah, ia memiliki kehebatan yang luar biasa, sehingga mampu mengemukakan kesalahan dan kelemahan para mufassir. Tiap malam ia menulis tafsir, fiqh, ilmu 'ushul sambil mengomentari para filosof. Sehari semalam ia mampu menulis empat buah kurrosah (buku kecil) yang memuat berbagai pendapatnya dalam bidang syari'ah. Ibnul Wardi menuturkan dalam Tarikul Ibnul Warid bahwa karangan beliau mencapai lima ratus judul.
Tabiat pencanri ilmu sejati, mereka menuntut ilmu bukan sekedar untuk kepuasan dirinya sendiri saja. Tabiat itu menampakkan diri dalam niat dan kesunguhannya mencari ilmu. Bahkan keselahan sekalipun merupakan pelajaran bagi siapa saja yang mau mengambilnya. Allah SWT menyediakan pelajaran yang penuh hikmah dan lengkap dalam Al Qur’an. Kisah menginspirasi untuk menggoresan kenangan manis bagi perdaban manusia bukan keburukan yang semua orang benci untuk mengingatnya.
Dalam Bahasa Arab kita mengenal at-tarbiyah yang berarti belajar. Ada keunikan luar biasa dalam kata at-tarbiyah. Menurut akar katanya, at-tarbiyah diambil dari tiga akar kata yang masing-masing mempunyai pengertian sendiri. Yang pertama Rabba-Yarbu yang diartikan dengan tumbuh (improvement). Yang kedua Rabbiya-Yarba yang berarti berkembang (development). Kemudia yang ketiga Rabba Yarubbu yang berati mendidik atau memberdayakan (empowerment).
Aspek yang pertama improvement mengarah kepada maturity atau kedewasaan. Ukuran kedewasaan orang yang belajar adalah keberanian mengambil tanggung jawab atas semua hal tentang dirinya (perbuatan, pilihan).
Aspek yang kedua development mengarah kepada pengaruh keberadaannya. Orang belajar bukan hanya untuk kepuasan dirinya tetapi untuk mengajarkan kepada orang lain. Mereka mengajarkan yang mereka ketahui, bagaimana agar orang lain seperti dirinya Tabiat mereka adalah berpikir satu tingkat lebih tinggi dari kemampuan yang dimilikinya atau masalah yang dihadapinya.
Aspek ketiga empowerment lebih tinggi lagi tingkatannya. Mereka bisa dikatakan gudangnya ilmu. Namun, kehausannya akan ilmu tidaklah berkurang. Ilmu yang dimiliki bukan sekedar yang diyakini (masih berupa teori) atau hasil penelitian yang terbukti tetapi hasil mengalaminya sendiri. Mereka membuka tangan bagi siapapun yang bersemangat mencari ilmu.
Sumber:
Life Excellent, Reza M. Syarif. Membangun Otak Sukses,Napoleon Hill Sirah Nabawiyah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthy. Catatan Pribadi. Majalah Tarbawi
0 komentar:
Post a Comment