By Pariman, Psikologi Undip
Muslim yang kuat lebih dicintai Allah daripada Muslim yang lemah tetapi pada keduanya ada kelebihan masing-masing. Itulah kira-kira bunyi Hadist yang semestinya menjadi perenungan bagi setiap Muslim. Siapa yang tidak ingin dicintai Yang Maha Pemilik Cinta? Kuat, jadilah yang terkuat dibanding yang lain. Be Extra Ordinary, setiap orang tentunya tidak ingin hanya menjadi manusia rata-rata. Manusia rata-rata hanyalah manusia tipe Mubah artinya ada atau pun tiada sama saja, enggak ngefek gito lho!
Memang tidak mudah menjadi manusia melebihi rata-rata. Mereka yang ingin melebihi rata-rata harus berpikir, merasai, dan melakukan lebih dibanding yang lain, menempuhi jalan sunyi, menyusuri onak dan duri. Bukanlah bunga dan aroma harum yang mereka temui selama perjalanan tetapi halangan, rintangan yang harus mereka lalui. Proses menjadi manusia melebihi rata-rata merupakan perjalanan panjang, tidak hanya dibutuhkan kekuatan ( shulton ) tetapi juga daya tahan (endurance). Tidak jarang mereka yang tidak kuat lalu mengundurkan diri, berguguran begitu saja. Lebih buruknya lagi, bangkai mereka menyebarkan bau busuk yang membuat orang menjauh dari jalan itu.
Lalu pertanyaannya, bagaimana kita mendapatkan kekuatan itu? Bukan kemana-mana kita harus mencarinya karena sebenarnya kekuatan itu ada didalam diri kita sendiri. Tugas kita adalah membangkitkan kekuatan itu, membangunkan raksasa yang tidur dalam diri kita. Bagaimana caranya?
Pertama, kita harus yakin dulu bahwa dalam diri kita ada potensi yang maha dahsyad. Manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk dan tidak ada ciptaan-Nya yang gagal. Jikalau ada manusia yang tidak lengkap bagian tubuhnya bukan berarti, dia manusia gagal. Yakinlah ada potensi luar biasa di sisi tubuh yang lain. Braile menemukan huruf untuk tuna netra, berawal dari semangat dan keyakinannya sebagai tuna netra bahwa Tuhan pastilah memberikan yang terbaik dalam diri setiap manusia. Benar, ternyata karena jasanyalah, mereka yang tuna netra bisa belajar, tidak kalah pintar dengan mereka yang lengkap. Ingat tuna netra yang ikut SPMB di UI? "Bukanlah fisik yang membatasi kita tetapi jiwa kita lah yang menjadikan seberapa besar diri kita."
Kedua, setelah kita menyadari, meyakini potensi besar dalam diri kita selanjutnya kita harus melakukan lebih dari yang semestinya. Seseorang menjadi juara karena dia melebihi lawan-lawannya. Juara 1 maraton misalnya, ia menjadi juara pertama karena kecepatannya lebih unggul dibanding peserta yang lain. "Bukan seberapa banyak yang kita lakukan tetapi yang penting adalah kita melakukan lebih dari yang biasa-biasa." Selisih waktu juara 1 dan juara 2 lomba renang tidak jarang hanya 0,0... detik, artinya melakuakn lebih walaupun itu hanya sedikit akan begitu berarti bagi kita. Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, dia lah orang yang beruntung dan barang siapa yang hari ini sama atau pun lebih buruk dibanding kemarin maka dia lah yang merugi (Hadits).
Ketiga, berpikir positif, artinya menyikapi setiap permasalahan tanpa prasangka buruk kepada siapa pun, apalagi kepada Allah karena prasangka itu jauh dari kebenaran. Prasangka buruk pula lah yang membatasi potensi kita. Tahukah sampai dimana batas potensi kita? Tidak ada yang tahu persis batas potensi kita kecuali, Allah. Sayangnya, tidak jarang dari kita mendiskon diri kita. Misalnya suatu waktu kita diminta untuk presentasi di depan kelas, coba kata-kata apa yang pertama kali terlontar dari mulut kita sebelum memulai presentasi ? ”Maaf apabila nanti ada salah karena saya kurang persiapan,” secara sekilas memang benar, tetapi cobalah renungkan apa efek dari kata-kata tadi. Kalau saya sebagai peserta, saya akan merasa tidak yakin kebenaran isi yang dipresentasikan. Sebagai presenter secara tidak langsung menurunkan mental sendiri dan mengurangi kekuatan ucapan kita.
Kita kurang persiapan memang benar tetapi tidak perlu kita sampaikan, nanti kalau ternyata ada salah pada yang kita presentasikan jadikanlah pelajaran. Tidak jarang juga kita diminta untuk melakukan sesuatu (menjalankan amanah) tetapi langsung menolak sambil mengatakan tidak sanggup, cari saja yang lain. Cobalah merenung sejenak, tidakkah sebenarnya itu muncul dari kemalasan, ketakutan? Coba kita pikirkan apakah kemalasan, ketakutan merupakan hal yang tampak (teknis)? Tidak, ternyata kemalasan, ketakutan merupakan dimensi mental jadi permasalahan sebenarnya karena kerdilnya mental kita. Tidakkah demikian ? ”Saya takut karena saya tidak bisa.” Itulah alasan kita, benarkah?
Coba bayangkan seandainya kaki Anda sakit yang sebelah (pincang), suatu hari Anda berjalan di sebuah gang yang sepi tiba-tiba ada seekor anjing yang megejar Anda. Bagaimana reaksi Anda padahal mau lari sulit? Saya yakin Anda pasti akan melawan anjing tadi dengan sekuat tenaga. Anda tentunya akan membela diri entah dengan memukul anjing dengan penganga tubuh yang Anda bawa, melemparnya dengan batu atau bahkan berusaha lari. Lari Anda akan lebih cepat dibanding ketika tidak dikejar anjing, benar? Padahal kaki anda sakit. Artinya dibutuhkan keberanian untuk melawan kekerdilan di dalam jiwa kita guna memunculkan potensi dahsyad kita. Untuk menjadi orang yang luar biasa terkadang diperlukan paksaan, perlu dipaksakan.
ok bos!
ReplyDeletesalam kenal...!