by Pariman, Psikologi Undip
Waktu Subyektif
Masing-masing orang mempunyai penghayatan yang berbeda terhadap peristiwa yang dialaminya. Peristiwa yang dialami bisa memunculkan suasana perasaan, baik dihayati sebagai perasaan senang atau susah. Lebih lanjut lagi, suasana itu kemudian turut menentukan tindakan yang dilakukan seseorang.
Pernah mengikuti presentasi kuliah atau seminar yang terasa ‘membosankan,’ garing? Bikin orang males mendengarkan, cuek? Mereka yang pernah mengikuti pelajaran yang ‘membosankan’ pasti bisa merasakan. “Sebenarnya tidak begitu berminat, namun karena diwajibkan mengambil, maka tidak ada pilihan lain.” Dua SKS (100 menit) rasanya begitu lama, serasa berjam-jam. Orangnya sih duduk di kelas tetapi pikirannya kemana-mana.
Sungguh beda rasanya ketika dibandingkan dengan ngobrol santai dengan temen apalagi temen lama yang baru bertemu, saking sudah lama berpisah. Ngobrol lama, sampai pagi pun dilakoni dan terasa hanya sebentar. Perasaan senang menjadikan waktu lama terasa begitu singkat.
Adanya HP sangat membantu mempererat kembali komunikasi. Jadi ingat fasilitas free talk tengah malam. Anak muda berusaha memanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk menghubungi friend-friend lamanya, maklum bisa ngirit. Kalau tarif normal, bisa jebol isi kantong. Bangun tengah malam pun diperjuangkan. Bayangin aja yang biasanya molor sampai pagi tetapi mesti tidur siang dulu atau nyalain alarm.
Tidak bisa dibayangin, seandainya kita bikin borring orang lain. Entah dengan presentasi di depan kelas yang garing, nyebelin. “Kalau sekedar membaca slide, gua juga bisa tetapi jelasin dong biar gua mudheng ?!” Wajarkan, kalau ada yang berkomentar seperti itu.
Teman-teman kita aja yang masih hormat atau kurang asertif, tidak berkomentar. Paling disampaikan dalam bentuk lain, entah ngobrol, main games HP atau ngegambar yang lagi presentasi. Jangan salah dong. “Gua bisa lakukan hal lain yang lebih bermanfaat daripada mendengarkan presentasi yang tidak menarik.” Ganti chanel.
Waktu (antara Kenangan, Realitas, dan Harapan)
Semua orang datang ke masa sekarang membawa serta masa lalunya. Ada kenangan yang senantiasa dirindukan. Ada pengalaman pahit yang senantiasa menjadi pelajaran. Masa lalu yang sempat menggembleng setiap insan dan mengantarkannya pada kedewasaan.
Dalam perjalanan menuju masa sekarang banyak masalah yang menghampiri. Ada dari kita yang menyapa, berkenalan, dan beradaptasi terhadap masalah itu, namun ada juga yang mengeluh dan menyingkir. Kesadaran membawa seseorang kepada kepemahaman kalau ternyata masalah itu mendewasan. Masalah sebagai masa orientasi yang melatih kemampuan dan memaksa seseorang mengaktifkan semua potensi yang dimilikinya.
Kegagalan pun mewarnai masa lalu. Kegagalan yang dirasakan begitu menyakitkan. Marilah kita ambil sudut pandang yang lain. Kegagalan menjadikan seseorang lebih berhati-hati, berefleksi kembali terhadap apa yang pernah dilakukan, dan menjadikan perencanaan lebih baik lagi. Senantiasa ada pelajaran kebajikan dalam setiap kegagalan. Kegagalan diri sendiri ataukah kegagalan orang lain pada dasarnya begitu berharga untuk diambil maknanya.
Perjumpaan dengan kejayaan, baik prestasi atau apapun yang membuat seseorang tersenyum atau menangis bahagia sungguh berkesan di hati. Kemenangan yang menjadikan semangat berkobar, menyala-nyala, bercampur kerinduan hati untuk segera menemui kembali. Kerinduan itu pula barangkali yang menjadi semangat Reanaisance hingga Eropa sekarang memimpin dunia. Barangkali kejayaan Islam generasi pertama pun harus ditumbuhkan dalam hati. Biarlah terwujud kembali pada masa kini atau nanti. Namun, perlu juga diperhatikan jangan sampai terhanyut kesuksesan masa lalu hingga menjadikan berbangga hati. Kesuksesan yang memasung diri, menjadikan diri mati berinovasi.
Bukan Determinisme Masa Lalu
Latar belakang dan pengalaman yang pernah ditemui tidaklah bisa dipungkiri keber-ada-annya. Pengaruhnya begitu nampak dalam cara berpikir, merasa, dan laku seseorang. Ada orang yang merasa terganggu kehidupannya dikarenakan pengalaman traumatis yang pernah dialaminya di masa lalu. Namun, kesadaran memahamkan kita bahwa manusia bukanlah emosi yang dikendalikan oleh kondisi lingkungannya. “Walaupun angin bertiup dari utara ke selatan, seseorang bebas menentukan arah langkahnya, tidak harus ke selatan.”
Thomas Alva Edison dulu dianggap orang yang bebal dalam pelajaran matematika di sekolah. Namun, nyatanya dia membuktikan dirinya bahwa ‘stempel’ bebal itu bukanlah menjadi penghalang, malah menjadi tantangan. Berkat kerja keras dan ketekunannya, umat manusia bisa menikmati terangnya malam dengan lampu pijar.
Keberhasilannya tidak lepas dari cara pandang Edison yang unik terhadap kegagalan. Beratus percobaan dia lakukan namun belum menemui keberhasilan. Apa yang dia katakan? “Aku bukannya gagal, namun aku berhasil menemukan bahan-bahan yang tidak baik untuk lampu pijar.”
Einstin semasa sekolah dianggap anak yang tidak berbakat oleh gurunya. Nyatanya dunia mengakui kalau dia ilmuan yang genius. Teorinya yang tersohor di bidang fisika tentang relativitas.
Bukanlah keterbatasan fisik, ekonomi, pengalaman gagal, traumatis yang menjadi penghalang. Keterbatasan mental yang mengkungkung langkahnya maju. Bukan perkara pinternya tetapi kepribadiannya pinter tetapi kalau malas (?) Bisa dipastikan tidak akan melejit sampai ke puncak kesuksesan.
Jadilah Pengukir Kenangan
Ada yang unik dari kenangan karena dia bisa muncul dalam kesadaran tanpa harus menemui dulu obyeknya. Kenangan datang bersama sampan kerinduan. Ya, kenangan datang bila hati seseorang merasakan kerinduan. Berita yang lebih menggembirakan lagi, kenangan itu bisa dipahatkan pada relief kehidupan. Pahatan yang dipersembahkan bukan hanya untuk pengukirnya saja, namun bagi semua orang. Mereka yang mempunyai semangat akan bisa melihatnya dengan menyusuri setiap relief perjalanan kehidupan orang-orang besar yang dengan ketulusan dan kerja keras memahatnya. Bukankah manusia yang terbaik adalah mereka yang banyak memberikan manfaat bagi orang lain? Bisa mempersembahkan yang terbaik bagi seluruh alam? Merekalah pengukir-pengukir peradaban.
Ayah pernah menasehatkan, “Nak, buatlah kerangka untuk kehidupanmu.” Singkat, namun mengandung makna yang dalam. Memang dalam kehidupan ini seakaan dihadapan kita terbentang rimba yang luas. Penjelajah rimba yang baik pastilah menyusun langkah-langkah untuk sampai kepada tujuannya dan mengantisipasi segala kemungkinan agar tidak tersesat nantinya. Mereka tidak main-main karena taruhannya adalah nyawa (kehidupan) yang hanya sekali.
Kerangka kehidupan. Bagaimana bentuknya? Istilah kerangka membawa kesadaran dan ingatan akan kerangka yang ada pada makhluk hidup. Entah, kerangka luar atau kerangka dalam, yang jelas mempunyai peran besar.
Kerangka berperan besar dalam membentuk, menegakkan tubuh, tempat melekatnya otot dan daging, melindungi organ-organ dalam yang vital, dan sebagai alat gerak pasif. Kerangka yang kuat dan bagus turut menentukan bagaimana tampang tubuh seseorang. Mereka yang merasa kurang percaya diri dengan wajahnya mengambil pilihan untuk operasi wajah. Dokter akan merubah sedemikian rupa tulang pipi, dahi, dagu, dan bagian wajah lainnya agar tampak proporsional atau cantik.
Kerangka bagi para ahli bangunan menjadi perhatian utama dalam perancangan bangunan yang akan didirikan. Kekuatan vital bangunan ditentukan oleh kerangkanya. Penghancuran gedung yang tinggi sekalipun bisa dilakukan dalam hitungan detik dengan menghancurkan bagian-bagian vital (pondasi) gedung itu.
Sesungguhnya orang-orang yang sebelum mereka telah mengadakan makar, maka Allah menghancurkan rumah-rumah mereka dari fondasinya, lalu atap (rumah itu) jatuh menimpa mereka dari atas, dan datanglah azab itu kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari. (QS An Nahl: 26)
Luar biasa peran kerangka. Bangunan kehidupan yang terbaik itu disusun dengan kerangka-kerangka perencanaan, dikokohkan dengan kuatnya visi, dibangun dengan kekuatan amal, dan dihiasi dengan ketulusan hati.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS Al Hasyr: 18)
Manusia adalah arsitek-arsitek bagi kehidupannya sendiri, apa yang terbayang di kepalanya, itulah yang akan dia bangun nantinya. Ada ilustrasi yang menarik. Tiga orang yang sama-sama menyusun bata. Mereka ditanya tentang apa yang dilakukannya terhadap bata-bata itu. Orang pertama menjawab, “Saya sedang sibuk menumpuk bata-bata ini.” Orang kedua lebih serius lagi, “Saya sedang sibuk membangun rumah. Rumah yang ada tamannya di bagian belakang, ada kolamnya di samping, dan area bermain bagi keluarga.” Luar biasa. Orang ketiga lebih antusias lagi nampaknya. Dia menerawang jauh dengan mata berbinar, “Bata-bata ini nantinya akan menjadi bangunan. Bangunan yang akan menjadi saksi, seorang ibu yang melahirkan manusia-manusia, pemimpin umat dan pengukir peradaban. Bata-batanya akan menjadi saksi bagaimana seorang ayah yang mengispirasi dan menjadi teladan bagi keluarganya. Bangunan yang akan menyaksikan bagaimana putra-putri yang ceria dengan wajah yang optimis menatap masa depannya.” Setiap orang yang menemuinya akan dengan reflek mengatakan, “Inilah orang yang dinanti-nanti selama ini.”
Bayar Hidupmu dengan Prestasi
Banyak anggapan kalau usia 40 tahun merupakan golden age. Usia dimana seseorang menempati puncak karier dan peran-peran sosial di masyarakat. Hidup berkeluarga menjadi suami/istri, mendidik anak, menjadi pengurus organisasi masyarakat, dan aktif menjalankan bisnis.
Setelah masa dewasa akhir, masa lansia pun menyambut. Fungsi-fungsi fisik mulai menurun. Produksi hormon seksual semakin lambat dan terhenti, tubuh pun semakin lemah. Anak-anak pun sudah mulai dewasa dan meninggalkan rumah untuk bersekolah, kuliah atau menikah. Interaksi semakin jarang, paling sekali dalam satu bulan bahkan satu tahun ketika lebaran.
Kesepian mulai dirasakan, jauh dari anak, pasangan yang sudah mendahului. Kesepian itulah yang menyadarkan kembali esensi hidup. Prestasi-prestasi masa muda yang membanggakan membuat mereka puas. Refleksi yang membawa kembali pada rasa syukur kepada Allah dan mempersiapkan kehidupan setelah kehidupan. Biarlah, anak cucu yang akan meneruskan cita-cita yang belum tercapai.
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri." (QS Al Ahqaaf: 15)
Masing-masing orang berhak mengambil pilihan hidup dan bertanggung jawab pula terhadap semua tindakkan yang dilakukan. Prestasi seperti apa yang akan mereka torehkan dalam sejarah hidupnya 1, 2, 5, 10, 20 tahun kemudian. Kenangan seperti apa yang akan disampaikan orang-orang tentang diri mereka walaupun telah tiada.
"Tahun 2008 adalah milikku, akan aku ukir prasasti di sana. Bekali aku dengan do'a dan biarlah semua menjadi saksinya. Perayaan tahun baru ambillah semua, puaskan dirimu."