Saturday, May 27, 2017
Sunday, April 30, 2017
Outbound dan Pelatihan di Kebun Teh Pagilaran
Hampir
setiap instansi memiliki security. Security
menempati posisi penting yang bertanggung jawab terkait keamanan. Tanggung jawab
tersebut mengharuskan pribadi yang kuat dan tegas. Di sisi lain, pada instansi
tertentu security “memiliki” peran
layaknya front liner yang
mengharuskannya bersikap ramah dan banyak senyum. Utamanya pada instansi yang
bergerak dalam pelayanan publik. “Kesan terhadap
security seolah saat pelatihan lebih banyak diajarkan tentang ketegasan (‘keras’)
tetapi saya di sini ternyata ditugasi untuk melayani yang mengharuskan banyak
senyum dan ramah”, demikian salah satu kesan dari seorang security di suatu instansi.
Tepatnya, 8
Oktober 2016 lalu saya kebagian untuk menyampaikan materi pada security Universitas Pekalongan.
Tempatnya di kebun teh Pagilaran. Pagilaran merupakan bagian dari wilayah
Kabupaten Batang. Perjalanan sekitar 45 menit dari pusat kota kea rah selatan.
Banyak orang memilih untuk ke Pagilaran guna menikmati udara segar dan hamparan
hijau kebun teh di sana. Perkebunan teh yang sudah ada sejak zaman penjajahan kolonial
Belanda. Pohon tehnya ada yang sudah berumur seratus tahun lebih.
Pagilaran
menawarkan kesejukan dan kesegaran udara, sangat cocok untuk refreshing. Ada banyak penginapan dan
rumah yang bisa disewa untuk keluarga. Cukup murah, rumah dengan 3 kamar tidur
lengkap dengan dapur dan kamar mandi hanya kisaran 1 juta sehari semalam. Tersedia
aula untuk acara gathering atau training yang juga bisa disewa.
Pagilaran
bisa jadi salah satu alternatif untuk kegiatan pelatihan atau gathering. Hal tersebut sepertinya yang
menjadikan alasan Alumni Fakultas Hukum Unissula Angkatan 80/81 memilih
Pagilaran sebagai salah satu tempat untuk reunian pada 26 Maret 2017 lalu. “Reunian kali ini seru, paling seru
dibandingkan sebelum-sebelumnya”, itulah salah satu kesan dari peserta. Kemasan
acara yang menarik yang memberikan kesan tak terlupakan merupakan hal penting
dalam acara reuni. Rektor Universitas Pekalongan merupakan ketua dari acara
reuni tersebut dan berperan besar dalam kesuksesan acara.
Salah satu
sesi acara yang menarik adalah outbound. Rangkaian permainan yang menjadikan
semuanya bisa terlibat, aktif, dan tentunya ada nilai edukatif di dalamnya. Pilihan
tempat permainan bisa di luar atau area terbuka sembari menikmati pemandangan
sekitar dan udara yang segar. Bisa juga tempat permainan di dalam ruangan
terkhusus ketika cuaca sedang hujan sehingga tidak memungkinkan diadakan di
luar. Tentunya jenis permainan akan disesuaikan sehingga tetap mengena di hati
peserta. Itulah yang kami usahakan, saya bersama rekan, seorang psikolog
pendidikan Aji Cokro D. M.Psi, Psikolog. Pada akhirnya, sebagai diberi
kepercayaan fasilitator belajar banyak hal dan harus siap membuat keputusan
yang sigap di lapangan. (Pariman, M.Psi, Psikolog)
Saturday, April 29, 2017
Smart Parenting di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta
Parenting atau
pengasuhan merupakan tugas bersama antara ayah dan ibu. Parent(ing) – Orangtua (ayah dan ibu), bukan fathering (ayah saja) atau mothering
(ibu saja). Namun demikian, konstruksi budaya dalam kehidupan bermasyarakat
seolah memberikan tanggung jawab mengasuh dan mendidik anak lebih banyak pada
para ibu. Ayah seolah (boleh) lepas tangan karena fokus dalam mencari nafkah
untuk memenuhi kebutuhan materi bagi keluarga. Padahal, materi hanya bagian
kecil dari tanggung jawab yang harus dipenuhi.
Banyak
penelitian yang membuktikan bahwa ayah memiliki peran besar bagi perkembangan
anak, baik aspek kognitif, afektif, motorik, dan sosial. Ada peran-peran
tertentu yang tidak bisa digantikan dan bersifat melengkapi antara ayah dengan
ibu. Peran penting pengasuhan bagi perkembangan anak utamanya pada awal masa
anak-anak. Ada usia-usia yang disebut golden
age, yaitu usia 6 tahun pertama. Pada usia tersebut, perkembangan otak
(memori) berlangsung sangat cepat sehingga stimulasi yang tepat akan bermanfaat
besar bagi perkembangan anak. Kenyataannya, tidak banyak orangtua tahu hal
tersebut dan memahami apa yang seharusnya dilakukan, lebih-lebih “ibu-ibu muda” atau “ayah-ayah muda”. (Sampai saya membuat halaman "Psikologi Menjawab")
Orangtua
dengan anak pertama umumnya belum lama dalam membangun rumah tangga. Kondisi
ekonomi belum stabil, pekerjaan belum mapan, rumah ada yang masih ngontrak atau
ikut orangtua, dan situasi penyesuaian lainnya. Keadaan tersebut bagi sebagian
orang tentulah menyita sebagian besar waktu sehingga perhatian pada anak
kurang. Bahkan, ada situasi pekerjaan yang membuat para ayah seolah tidak punya
pilihan waktu untuk banyak berinteraksi dengan anak karena tempat kerja yang
jauh. Tentunya tidak ada cara lain kecuali mengoptimalkan waktu yang ada ketika
bersama keluarga secara kualitas. Quality
time selain terus berusaha menambah quantity
time.
Masa-masa
6 tahun pertama adalah masa-masa dalam menanamkan kesan pada anak. Bagaimana
kesan anak terhadap ayah dan ibunya, rekaman kuatnya ada pada 6 tahun pertama. Pada
usia 6 bulan, ada sudah memiliki rekaman kuat tentang wajah orang-orang
terdekatnya. Rekaman tersebut menjadi frame
kedekatan hubungan. Olehkarena itu, sungguh disayangkan jika anak lebih
banyak memiliki rekaman ingatan orang lain dibandingkan dengan orangtuanya
sendiri. Ingatan tersebut terus berkembang dan anak mulai mengidentifikasi mana
orang dekatnya dan mana orang yang asing bagi dirinya. Usia 9 bulan, anak sudah
memahami hal tersebut sehingga jika ada orang asing, dia bisa saja menangis
karena beranggapan orang asing itu mengancam (menakutkan).
Lagi-lagi
waktu-waktu berharga dengan anak itu justru pada awal masa perkembangannya. Waktu
yang demikian itu berjalan sangat cepat terutama jika sibuk bekerja, anak beranjak
besar dan lingkaran interaksi anak sudah harus meluas, yaitu banyak
berinteraksi dengan teman sebaya juga guru mereka di sekolah. Bagaimana anak
menghadapi lingkaran interaksi itu ditentukan oleh pengalaman interakasi
bersama orang-orang dekatnya. Penelitian menunjukkan bahwa hubungan yang baik
antara ayah dan anak menjadi dasar baginya dalam membangun hubungan pada masa
perkembangan selanjutnya. Remaja-remaja yang bermasalah ketika dirunut akar
penyebabnya karena permasalahan dalam keluarga berupa tidak harmonisnya
hubungan ayah dan anak. Sungguh saat berharga untuk anak itu jangan sampai
berlalu begitu saja. Saya menyebut jadi orangtua itu haruslah memiliki bekal smart parenting. Itulah tema materi yang
saya bawakan untuk kajian parenting di Samben
Library, Bantul (24 April 2017).
“Smart” yang
diterjemahkan sebagai cerdas. Orang yang smart/cerdas adalah orang yang selalu
bisa beradaptasi dengan lingkungan (Colvin, Ahli Psikologi). Orang yang paling
smart/cerdas adalah orang yang 1) banyak mengingat kematian dan 2) paling bagus
persiapannya menghadapi kematian (Rasulullah SAW). “Parenting” yang biasa dikenal dengan pengasuhan merupakan segala
aktifitas (orangtua) yang memiliki tujuan agar anak berkembang secara optimal
dan bisa menjalani kehidupan dengan baik (Hoghughi, 2004). Jadi parenting yang smart itu sebagaimana tidak hanya berorientasi dunia tetapi juga
akhirat; bukan hanya perkembangan potensi anak tetapi juga keterampilan anak
dalam menghadapi kehidupan (life skills)
dan akhlaq anak; serta berorientasi pada kebutuhan anak di masa depan. “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan
zamannya, karena zamanmu dengan zamannya tidaklah sama”, demikian pesan
sahabat Ali bin Abi Thalib.
Sebagai
orangtua yang smart tentunya harus
memiliki bekal berupa pengetahuan dan keterampilan dalam ilmu pengasuhan dan
ilmu agama. Ada banyak pengajaran yang bisa diambil dalam Al Qur’an dan Hadist
yang bisa menginspirasi dalam mendidik anak. Untuk menguatkan itu, ada banyak
penelitian dalam ilmu psikologi terutama tema pengasuhan yang bisa menjadi ilmu
dalam mendidik anak. Pada akhirnya, orangtua dengan smart parenting menyadari bahwa menjadi orangtua adalah terus
senantiasa belajar. (Pariman, M.Psi,
Psikolog)
Friday, August 5, 2016
Outbound Sekaligus Refreshing di Guci, Tegal
Rutinitas
kerja dengan berbagai tumpukan banyak agenda memang membawa dampak kepenatan
dalam pikiran. Kebuntuan ide dan penurunan semangat menjadi permasalahan yang
biasa muncul secara individual jika tidak diimbangi dengan rehat yang cukup. Namun
demikian, adakalanya ketika seseorang memilih rehat sejenak dari pekerjaan
justru terasa berat untuk memulai kembali bekerja. Kegiatan yang memiliki nilai
edukatif mendukung pekerjaan sekaligus memiliki nuansa refreshing seperti outbound berlokasi
di tempat wisata menjadi pilihan yang layak dipertimbangkan.
(Mumpung pesertanya masih pada sarapan, photo dulu ^_^)
Senin-Selasa,
1-2 Agustus 2016 lalu saya dan tim diminta untuk memfasilitasi sesi indoor sekaligus outdoor STIE Muhammadiyah Pekalongan. Bukan hanya motivasi yang
diharapkan kembali menyala-nyala dari acara tersebut tetapi juga kinerja yang
melejit guna mencapai targetan-targetan. Kegiatan yang menantang sekaligus
menyenangkan bagi kami sebagai fasilitator. Menantang dalam artian memacu
ide-ide kreatif sehingga acara menarik, ada nilai edukatif sekaligus memuaskan.
Menyenangkan saat mengamati setiap perubahan positif tahapan demi tahapan dari
setiap peserta. Tentunya semakin menyenangkan ketika sekian waktu kemudian
mendapati kabar dampak positif terhadap motivasi dan kinerja dari outbound sekaligus refreshing yang pelaksanaannya di Guci, Bumijawa, Tegal.
Untuk
memastikan tercapainya tujuan dari outbound,
sudah menjadi kebiasaan kami melakukan assessement
dengan bertemu langsung pihak-pihak yang berkepentingan. Utamanya untuk
mengetahui keluhan-keluhan yang ada selama ini dan harapan-harapan dari outbound. Berbagai informasi yang
didapatkan tersebut kemudian digunakan sebagai dasar membuat materi dan
mendesain penyajian materi. Sedikit pengantar kemudian diikuti games atau role play menjadi pilihan yang menarik.
(Siap aksi ^_^)
Games dan role
play memiliki banyak kelebihan. Para peserta umumnya sangat antusias ketika
mereka tidak hanya duduk, diam menyimak pemaparan materi. Pikiran, emosi, dan energi
fisik peserta perlu dialirkan. Dengan demikian, bukan hanya aspek kognitif yang
terlibat tetapi afektif juga psikomotorik. Dalam bahasa pembelajaran ada
istilah yang disebut experiential learning.
Seluruh proses yang dialami oleh peserta bisa diolah menjadi sebuah
pembelajaran.
Oya, pilihan
tempat semisal Guci juga menjadi aspek yang umumnya jadi daya tarik para
peserta. Selain mendapatkan pencerahan dari materi, peserta bisa refreshing. Panorama alam yang indah,
udara yang segar, air panas yang memiliki efek teraupetik tersendiri. Ketegangan-ketegangan
yang mengganggu bisa teratasi dengan pemilihan tempat yang menarik. Dari semua
itu, pencerahan, semangat, dan tentunya kinerja yang meningkat tetaplah menjadi
poin penting yang diharapkan dari acara outbound
sekaligus refreshing.
Monday, July 25, 2016
Jodoh Bisa Ketemu Dimana Aja
“Wah, sudah punya calon apa belum?”, tanya seorang ibu di sebelahnya.
“Belum, Bu”, jawabnya polos.
“Kalau mau, saya kenalkan dengan guru les anak saya. Baru lulus. Anaknya cantik dan baik lho”, lanjut ibu itu.
Dialog pun mengalir begitu saja antara si pemuda dan si ibu, seolah di dalam satu travel itu hanya mereka berdua. Maklum, si ibu memang teman dekat dari ibunya si pemuda. Saya sendiri dan penumpang lainnya, menjadi penikmat.
Dalam hati, saya berkata, “Memang ya, kalau jodoh itu bisa ketemunya dimana aja dengan berbagai cara yang terkadang tidak disangka-sangkakan”. Hal penting dalam menjemput jodoh adalah memastikan caranya, jalannya, prosesnya, langkah-langkahnya jangan sampai melanggar kaidah agama. Tegas agama mewanti-wanti dengan perintah agar tidak mendekati zina. Berdua-duaan, berpegangan, bersentuhan sebelum resmi menjadi pasangan suami istri adalah jalan yang terlalu beresiko dan lebih dekat zina. Setan berusaha menggoda nafsu manusia dari berbagai arah. Karena itu, keinginan untuk menjemput jodoh jangan sampai menerabas rambu-rambu dari yang sudah digariskan Allah SWT. Ingat, jodoh bisa datang darimana saja.
Sahabat saya menemukan jodohnya melalui sosial media facebook. Awalnya tidak saling kenal kemudian berkomunikasi, ada kecocokan lalu diatur waktu untuk ketemuan, dan singkat kisah lamaran. Nikah. Lain teman saya, lain paman saya yang ketemu jodohnya karena dikenalkan oleh temannya. Ada kecocokan lalu diatur pertemuan dan tidak butuh waktu lama untuk lamaran. Nikah. Jodoh memang sudah diatur walaupun dia yang sukanya ngatur-ngatur belum tentu jadi jodoh.
Ada kalanya, manusia diuji dengan belum segera dipertemukan dengan jodohnya. Patutlah menengok kembali doa yang selam ini dipanjatkan. Tidak sedikit segala yang dihadapi oleh seseorang dikarenakan permintaannya sendiri pada Allah SWT. Ada prinsip yang seharusnya dipahami ketika seseorang berdoa memohon kesabaran, maka Allah SWT hadirkan cobaan dan permasalahan dalam kehidupannya. Kenapa demikian? Cobaan dan permasalahan itu Allah SWT hadirkan untuk melatihnya agar menjadi orang yang sabar. Karena itu, ptutlah direnungkan bagi seseorang yang hidupnya banyak sekali cobaan dan permasalahan. Apa doa yang selama ini dipanjatkan?
Semoga kita senantiasa diberkahi, diberikan ilham untuk memohon yang terbaik, dan dihindarkan dari permohonan yang penuh kesiasa-siaan. Salam bahagia.
Saturday, July 23, 2016
Games Pokemon dan Generasi Virtual
“Cucu saya itu rebutan HP sama
adiknya, hanya untuk main gamess”, tutur nenek yang duduk di jajaran kursi
sebelah saya. “Kalau disuruh untuk
belajar, malah tidak mau”, lanjutnya lagi. Itulah realitas yang ada di
masyarakat perihal boomingnya gamess Pokemon. Pemberitaan di media massa
banyak pula kita temui perihal dampak positif dan juga dampak negatif dari games tersebut.
Hebohnya kemunculan games Pokemon
juga memunculkan berbagai macam parodi. Ada yang menghibur dan membuat kita
tersenyum; ada pula yang tersimpan nilai edukasi di dalamnya. Sejumlah parodi games Pokemon antara lain; Pakenom (bapak muda; suami muda), Mbokenom (mbok enom; istri muda), Pokokmen (harus ya harus), Pekokmen (kurang sehat akal), Pakaiiman (gunakan iman). Parodi
tersebut ditulis dengan gaya font huruf
sebagaimana Pokemon.
Games Pokemon
menjadi buat bibir tidak lepas dari dampak kemajuan teknologi internet. Orang
yang sebenarnya tidak memiliki hobi main games
sekalipun bisa tahu tentang hebohnya games
tersebut. Saya sendiri sebenarnya juga tidak telalu ngeh dengan games Pokemon
walaupun di beranda facebook saya ada
yang update status isinya tentang games Pokemon.
Di grup WA saya juga ramai tentang keberadaan games Pokemon. Tetap saya belum paham. Saya pahamnya, Pokemon
adalah film anak-anak jaman dulu. Saya kira muncul aplikasi semacam WA yang
bernama Pokemon. Ehh…tahunya itu adalah games
yang dirancang berdasarkan film Pokemon.
Era seperti sekarang ini, games
yang dimainkan secara online atau
menggunakan gadget memang sudah
menjadi hal yang umum. Karena itulah, era sebagaimana sekarang disebut sebagai
era virtual. Kemajuan teknologi internet memunculkan banyak kreatifitas dan
kemanfaatan. Di sisi lain, ada banyak tantangan dan dampak negatif yang perlu
diwaspadai. Fenomena yang terjadi, tidak sedikit orangtua dari anak yang sudah mengenalkan
anak tentang gadget sejak dini tetapi tidak diimbangi dengan
kepemahaman yang baik.
Puspitarani dan Pariman (2013) menyebutkan bahwa pada dasarnya orangtua
dengan frame tradisional melihat games sebagai ancaman atau kegiatan yang
membuang waktu sedangkan anak-anak yang bermain games merasa belajar banyak hal dari bermain games. Anak-anak memiliki pemahaman akan perbedaan antara dunia
virtual dalam games dengan dunia
nyata. Kepemahaman anak akan perbedaan dunia virtual dalam games dengan dunia nyata itulah yang perlu mendapat perhatian
penting orangtua dalam mengedukasi anak. Games
seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai media simulasi, pelatihan tentang banyak
hal di dunia realita secara realatif lebih aman dan cenderung lebih efektif.
*) Pariman Siregar, suka menulis
Thursday, July 21, 2016
Ingin Mengubah Keadaan Tapi Belum Berhasil? Pahami Kunci Ini
Memang begitulah, manusia berinteraksi dengan beragam hal. Setiap
kita berhadapan individu-individu lain dengan berbagai karakternya. Setiap kita
berada di lingkungan dengan segala macam tabiatnya. Jelas semua hal tersebut
menjadi bagian dari lingkaran kesadaran setiap individu. Saat sediri sekalipun,
pikiran dan perasaan manusia tidak bisa lepas dari segala macam di luar
dirinya. Mulai dari yang paling dekat, yaitu memikirkan dan merasakan keadaan
dirinya sendiri sampai lingkungan nan jauh berupa alam semesta yang luasnya tak
terkira. Karena itulah, ada istilah lingkaran kepedulian. Segala macam hal yang
seseorang peduli (hanya sebatas tahu dan membicarakan) tetapi tidak bisa
berbuat banyak karena di luar kendalinya. Karakter orang lain yang (kebetulan)
tidak menyenangkan, polah tingkah pejabat yang membuat gemas dengan
kebijakannya yang tidak memihak, dan beragam berita di televisi yang membuat
kita hanya bisa menghela nafas. Paling-paling meluapkan perasaan tidak nyaman
di media sosial. Semua itu disebut lingkaran kepedulian. Semua ada dalam ruang
pikiran dan perasaan kita tetapi tidak tersentuh oleh kuasa tindakan kita.
Istilah lingkaran kepedulian dikemukan oleh Covey dalam bukunya The Seven Habits of Highly Effective People.
Seorang individu tidak akan menjadi Highly
Effective People jika lebih banyak fokus pada lingkaran kepedulian.
Waktunya akan banyak tersita tanpa ada pencapaian yang positif. Untuk menjadi Highly Effective People, seseorang
disarankan untuk lebih fokus pada apa yang disebut Covey sebagai "Lingkaran Pengaruh", yaitu
segala hal yang bisa dikendalikan atau dalam kuasa dirinya sendiri. Orang itu
tidak hanya bisa memikirkan dan merasakan tetapi juga bisa melakukan tindakan
nyata. Dengan seseorang memahami posisi dirinya atas suatu hal dengan peta
lingkaran kepedulian dan lingkaran pengaruh akan menjadikan lebih efektif dalam
menyikapi keadaan.
Istilah “lingkaran kepedulian” dan “lingkaran pengaruh”
mengingatkan saya pada kaidah ketika dihadapkan dengan kemungkaran. Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang
siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya
dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan
apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah
iman.’.”(HR. Muslim). Hadist tersebut mendorong setiap muslim untuk
memiliki kepedulian untuk mengubah kemungkaran, yaitu dengan tangannya (jika dia
mampu), dengan lisannya (jika tidak mampu dengan tangannya), dan dengan hatinya
(jika tidak mampu baik dengan tangan maupun lisan). Cara yang terakhir ini
dikategorikan selemah-lemahnya iman. Siapa yang ingin dirinya hanya dalam
selemah-lemahnya iman? Mendapati hadist tersebut sudah selayaknya sebagai umat
muslim mendorong diri agar memiliki tangan (kuasa) yang bisa mengubah
kemungkaran karena itulah sarana yang lebih efektif untuk mengubah kemungkaran.
Semangat untuk mengubah sesuatu
yang besar dan berdampak luas tidak seharusnya melupakan tahapan-tahapan
tertata dengan rapi. Sebuah inspirasi menarik yang tentu sudah umum kita dengan
tentang seseorang yang saat mudanya sangat ingin mengubah dunia tetapi ternyata
dia tidak mampu. Dia kemudian menurunkan targetannya, yaitu ingin mengubah
negaranya tetapi ternyata tidak mampu juga. Lalu dia menurunkan lagi
targetannya, yaitu mengubah kotanya tetapi ternyata tidak mampu. Seiring
berjalannya waktu dia terpikirkan untuk memulainya dari mengubah keluarganya
terlebih dahulu tetapi itupun teryata tidak bisa dia lakukan. Tersadarlah dia bahwa
semestinya dia memulai tahapan perubahan dimulai dari dirinya sendiri. Kalau Aa
Gym, “Mulai dari yang kecil-kecil, mulai
dari diri sendiri, mulai dari sekarang”.
Resep kesuksesan Umar bin Abdul
Aziz dalam waktu pemerintahan yang singkat tetapi mampu membawa kemakmuran
rakyat tidak lain adalah melakukan perubahan dari lingkaran pengaruhnya mulai
dari yang kecil. Perubahan dari diri sendiri, keluarga, kerabat sampailah
kemudian lingkungan pemerintahannya. Dalam istilah sekarang dikenal dengan
istilah reformasi. Dengan demikian, reformasi birokasi saja tidaklah efektif
ketika tidak dimulai dari individu-individu di dalamnya secara pribadi,
keluarga, dan kerabatnya. Jika kita pelajari Shirah Nabawiyah akan kita temukan
tahapan dakwah Rasulullah dimulai dari lingkungan terkecilnya dahulu; istri,
kerabat, sahabat barulah kaumnya lalu wilayah yang lebih luas. Ada pula proses
‘kaderisasi’ sehingga ketika Rasulullah SAW wafat, dakwah Islam terus berlanjut
hingga sampai kepada kita. Jadi, untuk melakukan perubahan selain diperlukan
tahapan-tahapan juga diperlukan kaderisasi, yaitu orang-orang yang diwarisi
ilmu dan semangat untuk meneruskan perubahan. Jika negeri ini belum mencapai
cita-citanya, patut untuk direnungkan, apa yang sudah diwariskan kepada anak
cucu? Sudahkah ada kaderisasi untuk menyiapkan pemimpin-pemimpin terbaik di
negeri ini? Siapa yang akan melakukan?
Bersambung ….
*) Pariman Siregar (Sukan menulis dan membawakan pelatihan tentang pengembangan diri)
Subscribe to:
Posts (Atom)